Selasa, 11 Juni 2013

POSMODERMIS

POSMODERNISME DAN KEBANGKITAN AGAMA

Pada era modern, agama dipandang sebagai kerangkeng yang membelenggu kebebasan manusia, ditambah lagi dengan anggapan bahwa argumentasi agama didominasi oleh argumentasi yang tidak bersandar pada reason. Kebangkitan rasio yang mewarnai zaman modern merupakan bentuk perlawanan atas otoritas gereja yang begitu kuat pada zaman pertengahan.
Kebangkitan rasio dalam zaman modern – bisa dikatakan – berawal dari Descartes (1596-1650) dengan diktumnya "cogito ergo sum" (aku berpikir maka aku ada). Gagasan Descartes adalah membangkitkan kesadaran manusia dari belenggu di luar dirinya. Manusia adalah dirinya sendiri, yang dengan kesadarannya mampu menemukan kebenaran-kebenaran yang tidak lagi bersifat intuitif, ilusif, dan imajinatif.
Gagasan kesadaran Descartes menjadi warna yang sangat kuat dalam perkembangan modernitas. Sebagai suatu bentuk kesadaran, modernitas dicirikan oleh tiga hal, yaitu subjektivitas, kritik, dan kemajuan. Melalui subjektivitas, manusia menyadari dirinya sebagai subjectum, yaitu sebagai pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Dari sini, teosentrisme yang dianut oleh zaman pertengahan digantikan oleh antroposentrisme. Kesadaran subjectum menemukan bentuknya yang paling ekstrem dalam eksistensialisme yang menilai manusia berdasarkan apa yang bisa dia lakukan untuk dirinya sendiri.
Prinsip yang kedua adalah kritik sebagai bentuk perlawanan atas dominasi suatu otoritas tertentu. Dengan kritik, rasio tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan individu dari wewenang (belenggu) tradisi. Kant merumuskan kritik sebagai keberanian untuk berpikir sendiri di luar tatanan tradisi atau otoritas. Kant memandang bahwa reason menjadi alasan utama manusia dapat menemukan dan membangun prinsip-prinsip pengetahuan dan melakukannya tanpa adanya belenggu dan keterkungkungan dari sesuatu yang absolut.
Subjektivitas dan kritik pada gilirannya mengarahkan pada kemajuan (progress) yang ditandai dengan perkembangan sains dan teknologi sebagai suatu hasil dari eksplorasi total manusia akan kemampuan akal budinya, dan ini juga menjadi simbol keterbebasan manusia dari ikatan-ikatan tradisional. Modernitas kemudian bisa dipandang sebagai bentuk pemberontakan intelektualitas secara terus-menerus atas segala bentuk tradisionalitas abad pertengahan. Agama, metafisika dan ontologi yang sebelumnya menjadi sumber pengetahuan dan sekaligus sebagai sandaran kebenaran digantikan dengan "kesadaran akan diri", rasionalitas, dan sains. Agama semakin terpinggirkan, bahkan pada akhirnya dianggap layaknya setumpuk ajaran yang membius kesadaran dan melahirkan penyakit bagi rasionalitas dan manusia modern. Agama hanya menawarkan kesadaran palsu. Freud menganggap agama sebagai bentuk penyakit neurosis, Marx menvonis agama sebagai racun, dan akhirnya Tuhan agama dibunuh oleh Nietzcshe.
Semenjak itu, agama divonis tidak lagi relevan dalam memahami realitas dunia saat ini (modern = newness = kekinian). Kemajuan sains dan teknologi yang telah memberikan kemudahan yang luar biasa bagi kehidupan manusia ikut andil membangun semangat otonomi dan independensi manusia. Kebebasan manusia dari Tuhan diterjemahkan dalam berbagai bentuk, mulai dari yang paling sederhana dengan meninggalkan ajaran agama sampai yang paling ekstrem membunuh Tuhan.
Manusia modern, bagi Nietzsche, adalah manusia yang sanggup untuk berkata "iya" (yes sayer) dalam menghadapi kehidupannya dan melepaskan diri dari kelemahan-kelemahan yang ditutupi oleh selubung transendensi. Menurut Nietzche, agama mengajarkan manusia hanya untuk menjadi budak-budak (hamba sahaya), dan karenanya manusia tidak memiliki dirinya. Untuk itu, agama harus dimusnahkan, demikian juga dengan Tuhan.
Kegagalan Modernitas dan Kebangkitan Agama dalam Posmodernisme
Tidak dapat disangkal bahwa modernitas telah memberikan sekian banyak kemudahan bagi hidup manusia. Sayangnya, secara bersamaan, manusia juga secara pelan-pelan merasakan alienasi dari dirinya sendiri lebih-lebih dari orang lain. Manusia memang menemukan independensinya tetapi kehilangan interdependensinya. Modernitas hanya memberikan kemajuan dari sisi material sementara dari sisi spiritual, manusia semakin mengalami kekeringan. Proyek kesadaran diri yang melahirkan otonomi kebebasan manusia menjadikan manusia sebagai individu-individu, yang berpikir tentang dan akan dirinya sendiri. Modernisasi telah menghadirkan wajah kemanusiaan yang buram. Setelah terpola dalam kehidupan yang mekanistik, muncul kegelisahan dan kegersangan psikologis yang disebabkan oleh tercerabutnya kehidupan spiritual. Akibat yang paling parah adalah terjadinya krisis tentang makna dan tujuan hidup.
Kondisi ini menghadirkan sebuah kesadaran baru, bahwa pandangan dunia yang materialistik dan kapitalistik ternyata tidak cukup untuk membebaskan manusia dari teror dan ketakutannya. Secara positif muncul pandangan dunia posmodern yang secara bersamaan juga melahirkan kesadaran spiritual posmodern. Tentu saja, spiritualitas posmodernisme tidak mengulangi pandangan zaman pertengahan dan modern yang menarik garis demarkasi tegas antara iman dan ilmu. Teologi posmodern mengungkapkan visi religius terhadap dunia, tanpa mengambil sikap anti ilmu dan anti rasional seperti dalam teologi konservatif, atau sebaliknya.
Lahir perhatian kembali terhadap metafisika, terhadap religiusitas dan agama. Derrida, misalnya, menggunakan istilah logosentris sebagai ganti metafisika. Ada semacam asumsi bahwa terdapat esensi atau kebenaran yang berperan sebagai dasar semua keyakinan; oleh karena itu, pasti ada disposisi, kerinduan pada "penanda transendental" yang langsung menghubungkan dengan "penanda transenden" yang stabil, kokoh, yaitu logos. Metafisika didefinisikan berdasarkan oposisi biner, dan menurutnya, selalu dapat didekonstruksi. Dengan pandangan tersebut, Derrida tidak lagi menganggap metafisika sebagai suatu kemestian atau kemutlakan yang tak tersentuh, tetapi metafisika sebagai sesuatu yang bersifat nature. Metafisika adalah konsep yang merujuk pada kehadiran masa kini dan karena itu oposisi biner menunjukkan bahwa satu pengertian tergantung pada dan ada dalam pengertian yang lain.
Posmodernisme secara sadar mendukung faham relativisme dan pluralisme. Yaitu, pandangan bahwa kebenaran itu relatif dan beragam. Meminjam istilah Wittgenstein, setiap kelompok (habitus: dalam istilah Bordieu) memiliki Language games-nya masing-masing; tidak terkecuali agama dan faham tentang Tuhan. Maka, teologi posmodernisme meniscayakan penerimaan dan pengakuan atas keragaman dan pluralisme agama. Dalam perkembangan yang paling dahsyat, mengarah pada inklusivisme agama; dimana setiap agama tidak lagi bisa menganggap klaim kebenarannya sebagai satu-satunya jalan kebenaran, sebab di luar dirinya ada kebenaran yang lain (the others) yang juga harus diakuinya.
Dan teologi, selain merupakan wilayah diskursus, yang tak kalah penting adalah wilayah praksis. Teologi menjadi kehilangan maknanya manakala ia melulu berada dalam diskursus intelektual-spiritual dan kehilangan jejaknya dalam praktek. Dan ketika teologi berbicara tentang hal yang praksis, maka ia lebih tepat disebut sebagai spiritualitas, yang mengandung arti pemaknaan atas nilai-nilai teologis yang diakui dan diyakini.
Penutup
Posmodernisme sunguh telah menghadirkan geliat yang sangat mengharu-birukan bagi kebangkitan agama. Agama tidak lagi dipandang sebagai anak tiri peradaban, yang selama masa modern diasingkan dari wilayah peradaban. Namun harus juga disadari bahwa, kebangkitan agama dalam semangat posmodernisme yang mengusungnya bukan tanpa kekhawatiran. Bagaimanapun juga, konsep dasar agama adalah terpusat pada konsep "ketuhanan" yang menitikberatkan pada suatu kemapanan dan kesempurnaan, sedangkan posmodernisme menggugat semuanya. Belum lagi, pemahaman keagamaan yang sudah terlanjur diyakini oleh masyarakat sangat bercorak deterministik, yang jika tidak berhati-hati akan berbenturan dengan konsep kebebasan yang tetap dipertahankan oleh posmodern sebagai warisan dari modernisme.
Tidak sedikit pula kekhawatiran atas konsep relativisme yang dianut oleh posmodern akan menyeret agama pada kerapuhan. Siapa yang menduga bahwa feminisme Islam akhirnya menuai pertentangan yang cukup besar ketika melahirkan kebebasan "perempuan sebagai imam", atau siapa yang tidak tersentak ketika satu kelompok membenarkan shalat dengan bahasa "lokal" (kata "lokal" adalah issu sentral yang menguat dalam wacana posmodern).
Bibliography
Damanhuri Fattah (ed.), 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Jakarta, Panta Rhei
David Ray Griffin, Tuhan & agama dalam Dunia Posmodern, terj. Gunawan Admiranto, Yogyakarta, Kanisius, 2005
Donny GA, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Teraju, 2002
Eko Wijayanto, Menggagas Teologi Posmodern, dimuat dalam Kompas, 6 Maret 2005



Memaknai Perbedaan dalam Tuntunan Ajaran Agama

Perbedaan pendapat dalam segala aspek kehidupan manusia merupakan satu fenomena yang akan terus terjadi sepanjang sejarah kemanusiaan. Perbedaan tersebut dapat meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk agama dan keyakinan. Al-Qur'an mengakui keniscayaan perbedaan itu, antara lain dengan firman Allah swt:
"Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepada kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu perselisihkan itu." (QS. Al-Mâidah/5: 48)
Tetapi dalam saat yang sama, Tuhan menegaskan bahwa:
"Manusia adalah umat yang satu. Lalu Allah mengutus para nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan." (QS. Al-Baqarah/2: 213)
Dengan demikian, perbedaan adalah keniscayaan, sedang persatuan adalah keharusan yang harus diwujudkan. Di sini, kita harus membedakan antara perbedaan dan perselisihan. Yang pertama harus ditoleransi, apalagi ia dapat menjadi sumber kekayaan intelektual serta jalan keluar bagi kesulitan yang dihadapi. Perbedaan dapat menjadi rahmat selama dialog dan syarat-syaratnya terpenuhi. Tetapi, perbedaan bisa menjadi bencana jika ia mengarah menjadi perselihihan, sambil masing-masing menganggap diri atau kelompoknya memonopoli kebenaran sedang selain diri atau kelompoknya memonopoli kesalahan.
Perbedaan di kalangan umat Islam bukan hal yang baru, bahkan sudah terjadi sejak masa Rasul saw meskipun tidak meruncing. Itu karena para sahabat dapat menerima keputusan Rasul saw dengan penuh kesadaran. Rasul saw mengakui adanya perbedaan penafsiran umat menyangkut tuntunan agama, dan dalam sekian kasus beliau membenarkan dan merestuinya, dan pada kasus yang lain beliau mengecamnya. Sangat populer riwayat yang bersumber dari Shahih Bukhari dan Muslim yang menginformasikan bahwa suatu ketika Nabi saw mengutus sejumlah sahabat ke perkampungan Yahudi, Bani Quraizhah, sambil berpesan:
"janganlah salah seorang di antara kamu shalat Ashar kecuali diperkampungan Bani Quraizhah".
Tetapi, ketika matahari hampir terbenam, sedang mereka belum juga tiba di tempat tujuan, sebagian sahabat melaksanakan shalat Ashar dengan alasan bahwa sabda Nabi saw itu bertujuan memeritahkan bergegas dalam perjalanan agar tiba di tempat tujuan sebelum maghrib, bukan memerintahkan shalat Ashar di sana, sehingga bila waktu Ashar telah hampir usai sedang tempat yang dituju belum dicapai, maka shalat Ashar harus dilaksanakan di mana pun. Kelompok sahabat lainnya memahami sabda Nabi saw itu dengan pemahaman tekstual, sehingga mereka baru benar-benar melaksanakan shalat Ashar setelah tiba di tempat kendati ketika itu matahari telah terbenam. Setelah mereka kembali, peristiwa itu dilaporkan kepada Nabi saw dan ternyata Beliau tidak mempersalahkan kedua kelompok yang berbeda itu. Keduanya dapat dinilai benar karena memiliki arah dan tujuan yang sama, yakni melaksanakan apa yang ditetapkan oleh Rasul saw sesuai pemahaman masing-masing.
Perbedaan pendapat antara kaum muslim yang pada akhirnya melahirkan kelompok-kelompok seperti Asy'ariyah, Maturidiyah, Mu'tazilah dan sebagainya, mulai terjadi pada abad kedua Hijrah.  Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa redaksi ayat-ayat al-Qur'an merupakan salah satu penyebab timbulnya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, apalagi ada ayat-ayat mutasyabih, yang bukan hanya artinya diperselisihkan tetapi juga penetapan ayat-ayatnya.Tidak juga keliru jika dikatakan bahwa Rasulullah saw sering memberikan toleransi atas perbedaan tersebut, bahkan toleransi atas perbedaan pemahaman sahabat menyangkut ucapan-ucapan beliau.
Meskipun terdapat banyak perbedaan pendapat menyangkut pemahaman atas sejumlah ayat-ayat al-Qur'an, namun kalangan ulama, bahkan para orientalis yang objektif, bersepakat menyangkut otentisitas al-Qur'an. Ini adalah dua hal yang berbeda antara otentisitas al-Qur'an sebagai wahyu Ilahi dan pemahaman atas ayat-ayat al-Qur'an yang merupakan hasil penafsiran ulama atau pembacanya.
Berbicara tentang otentisitas al-Qur'an, perlu dicatat issu yang pernah terdengar bahwa mushaf kaum Syiah berbeda dengan Mushaf kaum Sunni. Dalam konteks ini, Abdullah Darraz, salah seorang ulama besar kaum Sunni, menulis dalam bukunya Madkhal ilâ al-Qur'âni al-Karîm bahwa kaum Syiah pun mengakui otentisitas al-Qur'an yang beredar dewasa ini dan tidak berbeda dengan apa yang diakui oleh Kaum Sunni. Memang, tulisnya – mengutip tokoh kenamaan Syiah, Abu Ja'far – bahwa bilangan surah al-Qur'an menurut Syiah Imamiyah bukan 114 surah. Hal ini karena surah adh-Dhuha (93) bersama surah Alam Nasyrah (94), surah al-Fîl (105) bersama surah Quraisy (106), dan surah al-Anfâl bersama surah at-Taubah masing-masing dinilai sebagai satu surah.
Bagi umat Islam, keyakinan atas keotentikan al-Qur'an terbangun, tidak saja karena didukung oleh fakta-fakta sejarah yang meyakinkan, tetapi juga karena adanya jaminan pemeliharaan Allah, sesuai firman-Nya:
Artinya: "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr/15: 9)
Berbeda halnya dalam hal penafsiran atau pemahaman atas ayat-ayat al-Qur'an. Memang, tidak ada yang dapat memastikan maksud atau arti sebenarnya satu kata atau kalimat yang diucapkan atau ditulis oleh seseorang, kecuali oleh pembicara itu sendiri. Pengertian yang dipahami oleh pendengar atau pembaca bersifat relatif Ini disebabkan karena pemahaman sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Al-Syatibi menyimpulkan bahwa tidak ada atau jarang sekali yang bersifat pasti (qath‘i) dalam argumentasi syar‘i, jika yang dimaksudkan sebagai pasti (qath‘i) itu adalah tidak adanya kemungkinan arti lain dari redaksi tersebut secara berdiri sendiri. Karena walaupun ia mutawatir, namun pengertiannya ditentukan oleh premis-premis yang kesemuanya atau sebagian besarnya bersifat zhanny (dugaan), dan tentunya sesuatu yang lahir dari yang zhanny pasti bersifat zhanny pula.
Mahmud Syaltut menyebutkan salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan ulama itu adalah menyangkut periwayatan hadis. "Satu hadis mungkin diakui atau diterima oleh seorang alim, tetapi tidak diketahui atau diakui keshahihannya oleh alim yang lain. Hal ini antara lain akibat perbedaan penilaian terhadap perawi hadis, hal yang sangat luas jangkauan pembahasannya dalam studi al-Jarh wa al-Ta‘dîl." Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Para sahabat, menurut Ridha, tidak menulis semua apa yang mereka dengar dari hadis-hadis yang disampaikan oleh orang lain atau menganjurkan untuk mengamalkannya. Itu sebabnya, menurut Ridha, mengapa Imam Malik tidak menyetujui saran Khalifah al-Manshur dan al-Rasyid agar khalayak dipaksa mengamalkan kandungan kitab yang ditulisnya, yaitu al-Muwaththa', yang merupakan kumpulan hadis-hadis Nabi saw.
Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa perbedaan pendapat antar kaum muslim hanya menyangkut masalah-masalah yang dapat disentuh oleh pemikiran (ijtihâd), baik yang menyangkut masalah akidah maupun syariat, atau politik, bahkan menyangkut ushûluddîn (prinsip-prinsip agama) sehingga tidak mengakibatkan kekufuran. Para ulama, misalnya, tidak berbeda pendapat tentang wujud dan keesaan Allah swt, walaupun berbeda pendapat tentang sifat-Nya, apakah berdiri pada Zat-Nya atau tidak; juga tidak berbeda pendapat tentang kebenaran al-Qur'an, hanya memperdebatkan apakah dia makhluk atau qadim; seperti juga keniscayaan hari kiamat, hanya mempersoalkan apakah yang dibangkitkan kelak tubuh kasar beserta jiwanya atau hanya jiwanya, dan lain-lain. Perbedaan-perbedaan pendapat tersebut tidak sampai mengakibatkan kekufuran pengikutnya.
Agaknya tidak keliru mereka yang menegaskan bahwa ketika Islam membenarkan ijtihad bagi para ulama yang memiliki kemampuan untuk menetapkan rincian pandangan agama dengan merujuk kepada al-Qur'an dan Sunnah, maka ketika itu juga Islam telah mengakui kemungkinan timbulnya perbedaan pendapat dan lahirnya kelompok-kelompok. Memang menjadi bahasan para pakar, apakah setiap mujtahid dapat dinilai benar dalam pendapatnya, atau yang benar hanya salah seorang di antara mereka yang berbeda pendapat itu. Imam al-Ghazali, al-Qadhy, al-Muzany, dan kelompok Mu'tazilah mengatakan bahwa bisa saja kebenaran itu beragam dengan beragamnya pendapat para mujtahid. Sedang empat imam mazhab yang populer berpendapat bahwa kebenaran hanya satu, namun yang salah pun dalam ijtihadnya mendapat ganjaran. Ini tentu saja berlaku bila yang melakukan ijtihad itu adalah siapa yang memenuhi syarat-syaratnya serta bersungguh-sungguh dan tulus dalam upayanya mencari kebenaran.
Ulama-ulama terdahulu telah menetapkan beberapa syarat menyangkut seseorang yang dianggap kompeten untuk melakukan ijtihad. Syarat-syarat tersebut tentu saja ditetapkan oleh para ulama berdasarkan pertimbangan nalar, kondisi sosial, serta perkembangan ilmu pada masa mereka, sehingga syarat-syarat tersebut, untuk masa kini, dapat saja menimbulkan perbedaan pendapat.
Salah seorang ulama yang sangat kompeten dalam hal ini adalah al-Marhum Syekh 'Abdul Halim Mahmud, pemimpin tertinggi lembaga-lembaga al-Azhar Mesir, Menurutnya, syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan tampil melakukan ijtihad.adalah:
1.        Pengetahuan yang mantap tentang bahasa Arab
2.        Menguasai al-Qur'an dan memahaminya secara baik dan ini berkaitan dengan pengetahuan tentang sabab nuzûl
3.        Pengetahuan tentang hadis-hadis Nabi saw, khususnya yang berkaitan dengan hukum
4.        Pengetahuan tentang sunnah amaliyah baik di Mekah maupun di Madinah
5.        Pengetahuan yang jelas tentang sirah (sejarah hidup) Rasul saw.
Ulama lain menggarisbawahi perlunya pengetahuan tentang nasikh dan mansûkh, meskipun oleh sejumlah ulama kontemporer berpendapat hal ini bisa saja diabaikan dan cukup dengan pengetahuan tentang sabab nuzûl. Syarat lain yang dapat dikemukakan dan penulis anggap sangat penting yang harus dipenuhi oleh seseorang yang bermaksud menarik petunjuk hukum Islam menyangkut satu masalah yakni pengetahuan yang memadai tentang masalah yang dibahas. Jika masalah yang dibahas berkaitan masalah ekonomi, maka diperlukan pengetahuan ekonomi. Jika berkaitan dengan biologi atau kloning manusia, maka ini pun harus dipahami. Sebab, jika tidak, akan lahir pandangan hukum yang tidak sejalan dengan jiwa dan tujuan ajaran Islam.
Salah satu persoalan yang dihadapi dewasa ini adalah adanya sebagian orang mengemukakan aneka pendapat keagamaan tanpa mememuhi syarat minimal. Memang, harus diakui bahwa sangat sulit menghalangi seseorang merenungkan, memahami, serta mengemukakan pendapat tentang ajaran agama. Namun, kita semua seharusnya sadar bahwa setiap disiplin ilmu memiliki syarat-syaratnya sehingga tidak semua orang bebas mengemukakan pendapat tentang satu masalah tanpa memiliki otoritas tentang bidang yang dibicarakannya. Al-Qur'an bahkan melarang mengemukakan sikap dan pendapat menyangkut hal-hal yang tidak berada dalam batas pengetahuan mereka (QS. Al-Isrâ'/17: 36).
Kendati terdapat sejumlah perbedaan, namun kita juga dapat mengatakan bahwa perbedaan yang terjadi antara pakar-pakar muslim yang berkompeten dalam hal-hal yang berkaitan dengan rincian tuntunan agama, pada akhirnya dapat dipertemukan dalam satu wadah, karena semua yang berbeda itu pada hakikatnya ingin mengikuti tuntunan agama. Namun karena kaburnya sebagian argumentasi atau ketidaktahuan mereka tantang argumentasi, maka lahir perbedaan. Karena itu, sepert yang ditulis Abu Ishaq asy-Syatiby, "kalau kita berandai bahwa sang mujtahid kemudian mengetahui apa yang tadinya kabur baginya, maka pasti dia akan mengoreksi pendapatnya".
Lebih lanjut asy-Syatiby menulis bahwa:
"Perbedaan pada hakikatnya tidak lain kecuali pada jalan yang mengantar pada tujuan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan tujuan yang satu. Hanya saja, seorang mujtahid tidak boleh membatalkan hasil ijtihadnya tanpa keterangan (dalil). Ini adalah kesepakatan ulama, baik kita menganut paham yang menyatakan hanya satu pendapat yang benar (dalam satu masalah) maupun kita berkata semuanya benar, karena tidak dibenarkan bagi seorang mujtahid mengamalkan pendapat mujtahid lainnya walau yang lain itu benar, sebagaimana tidak dibenarkannya hal tersebut jika pendapat mujtahid yang lain itu keliru. Dengan demikian, kebenaran yang dinyatakan oleh mereka yang berpendapat bahwa semua mujtahid benar (dalam pendapatnya) adalah kebenaran relatif. Dengan demikian, kedua pendapat yang berbeda menjadi satu dari sudut pandang ini, dan dengan demikian pula, mereka sebenarnya bertemu, tidak berbeda. Dari sini tampak sebab kedekatan, kasih sayang, dan persahabatan antara yang berbeda pendapat itu dalam persoalan-persoalan ijtihad, sehingga mereka tidak bergolong-golongan (yang saling memusuhi), tidak juga berpecah belah, karen asemua telah sepakat mencari apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya, dan dengan demikian, perbedaan jalan tidak lagi berpengaruh. Maka,...karena arah mereka adalah menemukan tujuan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, maka (pada hakikatnya) kalimat mereka satu dan pendapat mereka pun sama".
Inilah yang menjadikan sementara ulama merasa bahagia dengan perbedaan pendapat para tokoh-tokoh sahabat dan ulama umat Islam, karena kalau hanya satu pendapat, maka umat akan mengalami kesulitan dan kesempitan.
Jika demikian, perbedaan yang hakiki adalah yang lahir dari hawa nafsu, atau dengan kata lain, yang lahir dari subjektivitas yang berlebihan. Subjektivitas yang berlebihan dalam kegiatan ilmiah atau keagamaan, maka hasilnya pasti keliru, salah, bahkan –dalam istilah agama – dhalâl atau kesesatan. Perbedaan yang mengakibatkan perselisihan tidak akan lahir selama semua berupaya untuk mencapai tujuan agama yang pencapaiannya diraih dengan menelusuri jalan yang ditetapkan agama, yaitu memerhatikan dan memahami secara objektif dalil dan argumentasi-argumentasi keagamaan.
Hal yang patut disayangkan saat ini – dan banyak menimbulkan perselisihan di antara umat Islam – adalah bahwa banyak tokoh kelompok agama yang mangklaim bahwa hanya kelompoknya yang benar dan selamat, sedang selain mereka sesat dan celaka. Perbedaan pendapat ulama masa lalu tidak pernah menjadikan mereka saling tuding, apalagi saling mengkafirkan, bahkan mereka semua saling menghormati dan mengakui kelebihan pihak lain. Sayang, kondisi semacam itu berangsur-angsur beralih menjadi fanatisme buta sejalan dengan kemunduran peranan ilmu dalam masyarakat Islam.
Syekh Muhammad Abdul Azhim az-Zarqany, Guru Besar Universitas al-Azhar, pada tahun tujuh puluhan, menulis: "Al-Qur'an, Sunnah, dan ajaran Islam, lebih luas daripada mazhab dan pendapat-pendapat mereka dan bahwa mazhab dan pendapat mereka itu jauh lebih sempit daripada al-Qur'an, sunnah, dan ajaran Islam....bahwa dalam arena ajaran Islam yang demikian luwes dan penuh toleransi ditemukan tempat yang luas bagi kebebasan berpendapat dan perbedaan pandangan, selama semua berpegang teguh dengan hablun minal-lâh (tali yang terulur dari Allah, yakni al-Qur'an)".
Sebelum ini, Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali, menulis:
"Sesuatu yang seharusnya dijadikan kecenderungan oleh para penuntut (ilmu/kebenaran) adalah menghindari pengafiran (orang lain) selama dia menemukan jalan untuk itu. Karena membenarkan penumpahan darah seorang muslim dan perampasan harta benda mereka yang shalat mengarah ke kiblat, yang menegaskan bahwa "Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya" adalah satu kesalahan. Sedang kesalahan membiarkan seribu kafir dalam kehidupan ini lebih ringan daripada kesalahan dalam menumpahkan darah seorang muslim. Rasul saw telah bersabda, "Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Lâ ilâha illal-lâh Muhammadun Rasûlul-lâh, maka bila mereka telah mengucapkannya maka terpeliharalah dariku darah (nyawa) dan harta benda mereka kecuali berdasar haknya (alasan yang dibenarkan agama)".
Ini tentu saja bukan berarti membenarkan semua pendapat atau penafsiran yang mengatasnamakan Islam atau al-Qur'an. Para ulama dan ilmuan mengenal kaidah-kaidah yang telah mapan dan diakui bersama menyangkut setiap disiplin ilmu. Nah, selama pendapat tersebut tidak menyimpang dari kaidah-kaidah yang telah disepakati itu, walaupun tidak sesuai dengan pendapat yang dianut oleh mayoritas, maka itu dapat ditoleransi. Ada pun yang jelas menyimpang, maka ia harus ditolak dan dibuktikan kesalahannya, agar yang mengemukakannya menyadari kesalahannya dan yang terpengaruh dapat kembali pada kebenaran.
Semoga semua upaya dalam rangka menghilangkan kesalahpahaman antara umat dan menghimpun mereka di bawah panji Tauhid yang dikibarkan oleh Nabi Muhammad saw dapat diwujudkan. Wal-lâhu a‘lam.[]

Belajar Dari Ibrahim dan Keluarganya

 الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ اِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ اَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ اَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللهِ : اُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَ اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِى الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ: يَااَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu.
Jamaah Shalat Idul Adha Yang Dimuliakan Allah.          
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan kenikmatan kepada kita dalam jumlah yang begitu banyak sehingga kita bisa hadir pada pagi ini dalam pelaksanaan shalat Idul Adha. Kehadiran kita pagi ini bersamaan dengan kehadiran sekitar tiga sampai empat juta jamaah haji dari seluruh dunia yang sedang menyelesaikan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Semua ini karena nikmat terbesar yang diberikan Allah swt kepada kita, yakni nikmat iman dan Islam.          
Shalawat dan salah semoga selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad saw, beserta keluarga, sahabat dan para pengikuti setia serta para penerus dakwahnya hingga hari kiamat nanti. 
Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu.
Kaum Muslimin Yang Berbahagia
          Hari ini kita kenang kembali manusia agung yang diutus oleh Allah swt untuk menjadi Nabi dan Rasul, yakni Nabi Ibrahim as beserta keluarga Ismail as dan Siti Hajar. Keagungan pribadinya membuat kita bahkan Nabi Muhammad saw harus mampu mengambil keteladanan darinya, Allah swt berfirman:
 

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِى اِبْرَاهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ

Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia (QS Al Mumtahanah [60]:4).
Pada kesempatan khutbah yang singkat ini, paling tidak ada empat dari sekian banyak keteladan yang harus kita ambil dari kehidupan Nabi Ibrahim as dan keluarganya. Nilai-nilai keteladanan yang amat penting bagi diri, keluarga, masyarakat dan bangsa kita.  
Pertama adalah mempertahankan dan memperkokoh idealisme sebagai seorang mukmin yang selalu berusaha untuk berada pada jalan hidup yang benar, apapun keadaannya dan bagaimanapun situasi serta kondisinya. Begitulah memang yang telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim as dan keluarganya dengan hujjah, argumentasi atau alasan yang kuat. Dalam sejarah Nabi Ibrahim kita dapati beliau menghancurkan berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat di sekitarnya, saat itu Ibrahim adalah seorang anak remaja, hal ini tercermin dalam firman Allah swt yang  menceritakan soal ini:
فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ  قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآَلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ  قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ    
Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim”. Mereka berkata: Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini, namanya Ibrahim (QS Al Anbiya [21]:58-60). 
Untuk mempertahankan idealisme itu, Ibrahim bahkan siap untuk terus berjuang sampai mati meskipun harus berjuang di wilayah yang lain, ia menyebut dirinya sebagai orang yang pergi kepada Allah swt, Tuhannya yang Esa, dalam hal ini Nabi Ibrahim menyatakan dihadapan orang-orang kafir:
وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِ
Dan Ibrahim berkata: Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku (QS Ash Shaffat [37]:99).   
Oleh karena itu, idealisme yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim as tidak hanya saat ia masih muda belia, tapi bandingkanlah dengan suatu peristiwa yang amat menakjubkan, saat Ibrahim diperintah oleh Allah swt untuk menyembelih anaknya Ismail, saat itu  Ibrahim sudah sangat tua, sedangkan Ismail adalah anak yang sangat didambakan sejak lama.
Maka Ibrahimpun melaksanakan perintah Allah swt yang terasa lebih berat dari sekedar menghancurkan berhala-berhala dimasa mudanya. Ini menunjukkan kepada kita bahwa Ibrahim memiliki idealisme dari muda sampai tua dan inilah yang amat dibutuhkan dalam kehidupan di negeri kita, jangan sampai ada generasi yang pada masa mudanya menentang kezaliman, tapi ketika ia berkuasa pada usia yang lebih tua justeru ia sendiri yang melakukan kezaliman yang dahulu ditentangnya itu, jangan sampai ada generasi yang semasa muda menentang korupsi, tapi saat ia berkuasa di usianya yang sudah semakin tua justeru ia sendiri yang melakukan korupsi, padahal dahulu sangat ditentangnya.  
Dalam kehidupan kita sekarang, kita dapati banyak orang yang tidak mampu mempertahankan idealisme atau dengan kata lain tidak istiqomah apalagi dalam proses penegakan hukum, sehingga apa yang dahulu diucapkan tidak tercermin dalam langkah dan kebijakan hidup yang ditempuhnya, apalagi bila hal itu dilakukan karena terpengaruh oleh sikap dan prilaku orang lain yang tidak baik, karena itu Rasulullah saw mengingatkan dalam satu haditsnya:
 لاَتَكُوْنُوْا اِمَّعَةً تَقُوْلُوْنَ: اِنْ اَحْسَنَ النَّاسُ اَحْسَنَّا وَاِنْ ظَلَمُوْاظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوْا اَنْفُسَكُمْ اِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ اَنْ تُحْسِنُوْا وَاِنْ اَسَاءُوْا اَنْ لاَتَظْلِمُوْا.
Janganlah kamu menjadi orang yang ikut-ikutan dengan mengatakan kalau orang lain berbuat baik, kamipun akan berbuat baik dan kalau mereka berbuat zalim, kamipun akan berbuat zalim. Tetapi teguhkanlah dirimu dengan berprinsip, kalau orang lain berbuat kebaikan kami berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan kami tidak akan melakukannya (HR. Tirmidzi). 
Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu.
Kaum Muslimin Yang Berbahagia. 
Kedua nilai keteladanan dari Nabi Ibrahim as yang harus kita ambil adalah memiliki ketajaman hati sehingga hati yang tajam bagaikan pisau yang tajam sehingga mudah membelah sesuatu. Hati yang tajam membuat kita mudah membedakan mana yang haq dan mana yang bathil, tidak akan samar diantara keduanya. Bahkan hati yang tajam membuat manusia cepat nyambung dengan maksud dari bahasa isyarat.
Begitulah Nabi Ibrahim yang begitu mudah menangkap perintah Allah swt yang benar meskipun hanya melalui isyarat mimpi, begitu juga Ismail yang langsung percaya bahwa perintah Allah swt telah disampaikan kepada ayahnya melalui mimpi yang diceritakan kepadanya. Allah swt berfirman
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".(QS Ash Shaffat [37]:102). 
Perintah dan larangan tidak selalu harus disampaikan dengan bahasa yang vulgar, karenanya ketajaman hati menjadi sesuatu yang amat penting, apalagi pada zaman sekarang, banyak bahasa isyarat dan simbol yang mengandung perintah dan larangan. Namun hati yang tumbul membuat banyak diantara kita yang sudah tidak peduli dengan bahasa-bahasa simbol. Ini sangat jelas dalam tertib lalu lintas yang sudah tidak dipedulikan lagi, padahal dalam rangkaian ibadah, apalagi dalam ibadah haji begitu banyak bahasa simbol yang  harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. 
Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu.
Kaum Muslimin Yang Berbahagia. 
Ketiga, pelajaran yang kita dapat dari Nabi Ibrahim as sebagaimana yang terkandung pada ayat di atas adalah mengembangkan suasana yang dialogis antara orang tua dengan anak.
Meskipun Nabi Ibrahim yakin bahwa mimpinya itu adalah perintah Allah swt yang harus dilaksanakan, ia tidak begitu saja melaksanakan proses penyembelihan, tapi mengajak berdialog dulu kepada anaknya Ismail yang harus terlibat langsung dalam pelaksanaan perintah ini. Suasana yang dialogis inilah yang seringkali hilang dari keluarga kita.
Banyak orang tua yang memperlakukan anaknya seperti radio atau televisi yang rusak sehingga bila anaknya belum melaksanakan sesuatu yang seharusnya dilaksanakan dipukul-pukul seperti radio dan televisi yang rusak, memang kadangkala radio dan televisi itu bisa hidup, tapi sebenarnya hal itu bisa membuat radio dan televisi bertambah rusak. Nabi Ibrahim as telah mencontohkan dan membuktikan kepada kita bahwa dengan dialog tingkat kesadaran dan tanggungjawab sang anak tumbuh dengan kuat dari dalam dirinya, bahkan ia memiliki alasan atau argumentasi yang kuat sehingga bisa dipertahankan selalu.  
Oleh karena itu, rumah jangan sampai menjadi seperti terminal, stasiun dan bandara, apalagi sekadar halte dimana anggota keluarga hanya sekadar singgah ketika berada di rumah sehingga tidak terjadi komunikasi yang baik antara anggota keluarga, apalagi dari orang tua kepada anak-anaknya yang sering merasa sibuk, karena itu, Rasulullah saw berpesan kepada kita semua:
 اِلْزَمُوْا أَوْلاَدَكُمْ وَأَحْسِنُوْا أَدَبَهُمْ.
Bergaullah dengan anak-anakmu dan bimbinglah kepada akhlak yang mulia (HR. Muslim). 
Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu.
Kaum Muslimin Yang Berbahagia. 
Keempat, memiliki kesadaran sejarah, ini menunjukkan bahwa ketika belajar sejarah kita tidak hanya harus menghafal tentang apa, siapa, dimana dan bagaimana, tapi pelajaran (ibrah) apa yang harus kita ambil dari sejarah masa lalu.
Pada Ismail as, kesadaran sejarah itu melahirkan akhlak dan peradaban yang mulia dengan menyatakan “insya Allah, engkau dapati aku termasuk anak yang sabar”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa ia tahu bahwa generasi terdahulu juga sudah banyak yang sabar, bahkan bisa jadi jauh lebih sabar dari dirinya sehingga ia tidak mengklaim dirinya sebagai anak yang paling sabar apalagi satu-satunya anak yang sabar.  
Oleh karena itu, kesadaran sejarah yang harus kita tunjukkan pada masa sekarang adalah dengan selalu melaksanakan dan menegakkan nilai-nilai kebenaran dan menjauhi nilai kebathilan, itu sebabnya, sesulit apapun keadaan yang kita alami, tidak sesulit yang dialami oleh generasi terdahulu dan ini pula yang diingatkan kepada Nabi Muhammad saw dalam mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai kebenaran, Allah swt berfirman:
 فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْا اِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar (istiqomah) sebagaimana diperintahkan kepadamu dan juga orang yang bertaubat bersamamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS Hud [11]:112)   
Kesadaran sejarah juga membuat seseorang akan lebih siap menghadapi segala resiko perjuangan karena memang dalam hal apapun pasti ada resikonya, jangankan dalam kebenaran, dalam kebathilan juga ada resiko yang harus dihadapi. Karenanya, Nabi Ibrahim as menunjukkan keberanian menanggung resiko seperti dijatuhi hukuman mati oleh penguasa yang zalim, bahkan eksekusinya dengan cara dibakar meskipun Allah swt memberikan perlindungan dan pertolongan kepadanya:
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ  وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ
Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim", Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, Maka kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi (QS Al Anbiya [21]:69-70). 
Dalam kehidupan sekarang, begitu banyak orang yang tidak berani menghadapi resiko, akibatnya kebenaran tidak bisa tegak, apalagi dalam konteks penegakan hukum seperti yang kita rasakan di negeri kita ini, hukum begitu mudah dipermainkan untuk mendapatkan kepentingan dunia dan lebih tragis lagi karena yang melakukannya justeru para penegak hukum. Inilah diantara nilai-nilai kepribdian yang mulia pada diri Nabi Ibrahim dan keluarganya dari sekian banyak yang harus kita teladani. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang mampu menapaki jejak kehidupan para Nabi sehingga kehidupan kita berada pada jalan yang lurus, selamat dunia dan akhirat.  
Akhirnya, marilah kita tutup ibadah shalat Id kita pada hari ini dengan berdo’a:

 اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ النَّاصِرِيْنَ وَافْتَحْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْفَاتِحِيْنَ وَاغْفِرْ لَنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ وَارْحَمْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ وَارْزُقْنَا فَاِنَّكَ خَيْرُ الرَّازِقِيْنَ وَاهْدِنَا وَنَجِّنَا مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ.
Ya Allah, tolonglah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Menangkanlah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi kemenangan. Ampunilah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pemberi ampun. Rahmatilah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rahmat. Berilah kami rizki sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rizki. Tunjukilah kami dan lindungilah kami dari kaum yang dzalim dan kafir.
  اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَناَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَ الَّتِى فِيْهَا مَعَاشُنَا وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِى فِيْهَا مَعَادُنَا وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شرٍّ
Ya Allah, perbaikilah agama kami untuk kami, karena ia merupakan benteng bagi urusan kami. Perbaiki dunia kami untuk kami yang ia menjadi tempat hidup kami. Perbikilah akhirat kami yang menjadi tempat kembali kami. Jadikanlah kehidupan ini sebagai tambahan bagi kami dalam setiap kebaikan dan jadikan kematian kami sebagai kebebasan bagi kami dari segala kejahatan.
  اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا
Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini. Ya Allah, anugerahkan kepada kami kenikmatan melalui pendengaran, penglihatan dan kekuatan selamakami masih hidup dan jadikanlah ia warisan bagi kami. Dan jangan Engkau jadikan musibah atas kami dalam urusan agama kami dan janganlah Engkau jadikan dunia ini cita-cita kami terbesar dan puncak dari ilmu kami dan jangan jadikan berkuasa atas kami orang-orang yang tidak mengasihi kami.
 اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ.
Ya Allah, ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Dekat dan Mengabulkan do’a.
   رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kehidupan yang baik di dunia, kehidupan yang baik di akhirat dan hindarkanlah kami dari azab neraka.