lihatlah kedepan, bergerak maju, dan jangan pernah terperangkap dengan kehidupan masa lalu.
Jumat, 05 Juli 2013
CERITAKU 4
GELISAH KU
Seiring waktu berlalu, tangis tawa dinafas q, hitam
putih dihidup q, jalan ditakdir q. tiada satu yang tersembunyi dan tiada
satupun yang terlupa, segala apa yang terjadi tuhanlah saksinya.yang dicinta
akan pergi, yang didamba kan hilang, hidup akan terus berjalan meski penuh
dengan tangisan. Andai bisa q mengulang waktu yang hilang dan terbuang, andai q
bisa kembali tuk hapus semua pedih. Detik waktu terus berjalan berhias gelap
dan terang, suka dan duka, tangis dan tawa, tergores bagai lukisan. Seribu
mimpi berjuta sepi, hadir bagai teman sejati diantara lelahnya jiwa dalam resah
dan air mata. Meski q rapuh dalam langkah kadang tak setia pada sang pencipta,
namun cinta hayalah miliknya. Maafkanlah bila hati tak sempurna, dalam dada q
harap hanya dirimu yang bertahta. Hujan mengingatkan aq tentang satu rindu
dimasa yang telah berlalu saat mimpi masih indah bersamamu. Terbayang satu
wajah yang penuh cinta, kasih, penuh dengan kehangatan. Allah izinkan aq
bahagia dan berarti untuknya.
Jemari tangan q
terus menari indah diatas keyboard yang mungkin sudah menjerit untuk berhenti
karna lelah. Namun jiwa q belum lelah untuk memikirkan apa yang sedang ku
rasakan. Saat jiwa mulai kosong, hati tak lagi memiliki makna yang berarti,
namun raga masih tetap ingin berdiri. Perahu kertas yang mengalir terbawa arus
angan dan impian q mungkin tlah berlabuh ditempat yang belum bisa dimengerti.
Kata-kata yang sedikit gila, namun itu adanya dan mengingatkan q betapa
ajaibnya hidup ini dalam mencari tambatan hati. Awalnya aku bahagia, karna kau
tlah terlahir didunia dan kau ada diantara miliaran manusia didunia. Saat itu
tak ada lagi yang mampu berdiri menghalangi rasa q.
Aku
mencintaimu, walau aku tak beritahumu dari semenjak dulu bahwa cinta itu telah
mulai lahir. Sajak dan bait yang mengalir menuntun penaku menulis tentang mu.
Mungkin ini jadi rahasia hati q yang semakin tak kuat aku menyimpannya terlebih
jika ada kamu, yaitu rahasia yang terdalam dalam hati q yang akan q bilang bila tiba waktunya.
Saat jiwa
ini sepi, aku mencoba melelapkan ragaku, namun q tak mampu tuk melelapkan jiwa
q. Bila malam datang, aku hanya bisa melihat langit yang awalnya cerah dengan
bermacam aksesoris jagat raya yang menawan dan secara perlahan tertutupi olek
kabut asap yang menyeramkan. Aku berharap sirius yang jauh diatas sana
menyapaku dengan ramah dan mengajakku berjalan menelusuri indahnya bintang
kejora, menyapa jupiter, dan menyelam kedasar laut untuk menyapa dewa neptunus dan
kuda-kuda lautnya yang ramah. Namun itu
hanya buaian mimpi q saat melihat keatas sana. Bulan yang ku harap akan
tetap bersinar sepanjang malam ternyata juga meninggalkan langit dan
bersembunyi dibalik awan tebal. Tanpa q sadarai, saat tetes bening mengalir
tanpa ada muara yang pasti ditujunya, disisi q ada seekor kunang-kunang yang selalu
setia menemani kesepian, kesunyian dan kegundahan hti q.
Inilah
yang ku rasakan semenjak ku mulai mencoba terbuka pada seseorang yang mampu
membuat q merasa nyaman ada didekatnya dan bicara dengannya. Saat pertama q jumpa dengan mu, kau sungguh membuat q
terkesan. Saat pertama q melihat mu, kau membuat hati q tergetar dengan
sikapmu. Kerinduan q ada didekatmu, mendengar suaramu, dan bersamamu mungkin hanya mimpi yang tak akan pernah
nyata. Aku g’ tahu sebesar apa kekuatanmu sehingga kau mampu menghancurkan
kokohnya tembok pertahan q mengenai prinsip hidup yang q yakini sekian lama.
Bahwa cinta pertama q hanya milik allah dan orang tua ku. Namun saat q mengenal
mu, q sadar bahawa ada cinta lain yang hadir dalam diri q. Banyak hal baru yang
tak pernah q alami terjadi secara tiba’. Selama aku mengenalmu banyak waktu q
terbuang dengan sia-sia, karna saat itu aku menganggap bahwa itu adalah
pengorbanan yang q lakukan demi sesuatu yang ingin q perjuangkan. Bukan hanya
waktu q yang tersita begitu saja, namun juga energy dan fikiran q, sehingga q
selalu mersa gelisah. Sanggupkah aku menanti dan menjalani sesuatu yang tak pasti…?
Perlahan –lahan kau menghilang, berlari-lari kau q cari, meski q merekah.
Hingga batas waktu yang membuat q sadar bahwa q tidak akan memiliki arti sama
sekali baginya. Siang malam q nanti jawaban atas penantian q. Hingga pada
akhirnya q berusaha memulihkan jiwa dan raga q seperti semula. Meski q tahu itu
g’ akan pernah mampu untuk menutupi luka ini.
Disaat pagi mulai menebarkan aroma lembut dan kesegaran
yang mengisi setiap alveolus dalam paru-paru q, aku berharap kamu datang hanya
untuk mengajari q untuk melupakanmu. Namun hal ini sangat mustahil akan
terjadi. Aku kumpulkan embun tersebut dengan tanganku sembari berjalan. Aku tidak
ingin seperti embun – embun tersebut yang sirna bila pagi berlalu. Langkah kaki
q di pagi buta mengisyaratkan bahwa q ingin melangkah dan sukses lebih awal
disaat orang lain masih tertidu lelap.
Perlahan, tapi pasti….!!!! Saat bayangan tantang mu
mulai menghampiri benakku, selintas tersirat dalam hati q bicara : q tahu dia
yang akan menjadi pilihan untuk hatimu, Dia yang selalu kau tunggu, namun kau
beri aku rasa ini, hingga q tak mampu menahan rasa yang terlanjur dalam,
mungkin q yang terlalu berharap dan ternyata akhirnya aq g’ sanggup mengerti. Seharusnya
aq sadari, kau tak akan pernah memilih, aku yang terlalu mngharapkanmu.
Seharusnya aku mengerti, bukan aku yang kau pilih, biarkanlah waktu yang akan
mnghapus bayangmu.
ini tak lagi
sama, meski hati ini selalu disini, mengertilah bahwa q tak akan berubah, Lihat
aku dari sisi yang lain. Bersandar pada q , besarkan hati q, . Dan diri q
bukanlah aku tanpa ada yang melengkapi. Kau lengkapi aku dan kau sempurnakan
aku, membuatku jadi berarti dan
hancurkan kerasnya dinding hati…. Itu cerita q di hari yang tlah berlalu.
Namun hari
ini aku sadar, bahwa waktu itu seperti sungai. Kita tidak akan menyentuh air
yang sama untuk kedua kalinya, karna air yang telah mengalir akan terus berlalu
dan tak akan pernah kembali jika q masih berharap keadaan seperti semula. Aq
tidak akan menaruh dendam apapun, karna ini mungkin memang salah q sepenuhnya.
Saaat ini
aq berhenti dari keegoisan hati yang mulai menguasai q. ketika fikiran
tentangmu dan pertanyaan mengapa aku mulai diam.. ? maka hati q akan
menjawab dengan berbagai pemikiran normal :
Pertama,
aq akan menganggap ini adalah proses belajar membenahi diri. Karna jika orang
yang kita cintai tidak memberikan perhatian seperti yang diharapkan, bukan
berarti dia tidak mencintai kita.
Kedua,
jika aq merasa diabaikan, aq hanya berfikir bahwa aq mungkin pernah mengabaikan
orang lain.
Ketiga,
mungkin saatini aq adalah layaknya ulat yang akan berubah jadi kupu-kupu
cantik. Melewati tahapan yang begitu berat dan jika dibantu ia akan berubah jadi
kupu-kupu yang lumpuh.atau bahkan mungkin aku memang sudah jadi seperti
kupu-kupu, namun kupu-kupu tidak akan pernah tahu betapa indahnya sayap mereka
kecuali kita yang melihatnya.
Haaahhhff….hidup
itu sangat kerdil bagi orang – orang yang menganggap bumi ini besar. Namun
sangat luar biasa bagi mereka yang menganggap hidup itu unik dan indah jika
dilihat dari sisi jagat raya. Intelektual
akan tercapai dengan sendirinya jika emosi dibiarkan dengan benar-benar bebas.
Hidup itu jangan dipersulit, karna struktur bumi yang kita duduki jauh lebih
rumit. Tapi jangan dipermudah dengan cara yang biadap.
Keempat, aq mungkin lebih berfikir realistis tentang
kehidupan, bahwa tidak hanya satu yang tuhan ciptakan diatas muka bumi ini.
So…lebih baik kehilangan orang yang tidak mencintai kita, daripada mencintai
dengan setulus hati orang yang lebih mencintai orang lain daripada kita.
O,o…mungkin ini akan terasa sangat melegakan hati dan
menyadarkan diri, bahwa aku punya mimpi yang besar dan tinggi untuk q
takhlukkan. Bukan hanya sebatas makhluk kerdil dimuka bumi. Biarkan mereka
menilai q dengat sangat rendah, mungkin aq memang tidak ada apa-apanya
dibandingkan mereka.
Malam berlalu hingga pagi telah menjelang dihadapan q
dengan senyuman yang sangat khas. Begitu juga dengan gelisah
q yang juga berlalu dan pergi bersama gelapnya malam. Yang tersisa hanyalah sebuah kisah yang sangat pelik
tertuang diatas kertas. Aku kembali kejalan q dengan senyuman orang yang sangat
sayang padaku bahkan mungkin sangat mencintai q. orang-orang yang tidak pernah
mau melihat q diam dengan senyum yang memudar. Dan disaat aq sadar, aku ingat
ada yang menunggu q dan mengatakan “aku mau suatu hari nanti kita bertemu
dengan foto dan kisah unik dimenara cantik di Negara-negara yang kita kunjungi”.
Jangan temui kami sebelum kamu berhasil melakukan itu. Hahahaha……aq tertawa
lepas meningat yang q lalui.
Meski demikian, separuh jiwa q telah jadi satu, tak
sabar q menunggu datangnya sang waktu tuk membuat sejarah baru. Hari terus
berlalu menanti q terharu tuk melukiskan cerita baru. satu nafas q kian jadi
satu, bahagia aq tunggu peluk erat dirimu berbisik ayat-ayat rindu.
Hari ini bukan akhir dari kisah q, bukan pula awal dari
kisah q. tetapi awal perubahan membentuk akhir yang lebih indah dan unik.
Untuk dia : I just want to say I love u
May god bless
KISAH INSPIRATIF 35
‘AYAH ENGKAU BENAR² LUAR BIASA’’
Orang tua kandungku tinggal ayahku seorang. Ibu kandungku meninggal saat aku SMA. Sejak itu ayah berusaha keras menjadi dua orang sekaligus untuk aku dan kakakku.
Ia tahu aku dan kakakku belum bisa hidup mandiri. Ia melakoni banyak pekerjaan untuk membuat keadaan kami tidak jauh berbeda dari sebelum kami kehilangan ibu.
Ini terjadi di hari pertamaku bekerja. Awalnya aku masih berpikir bahwa bekerja adalah tahapan hidup yang harus dilalui, sesederhana itu. Aku akan bekerja, mendapatkan gaji dan memberikan sebagian gajiku untuk orang tua yang selama ini membiayaiku.
Ternyata aku hanya menggunakan otak dan sibuk dengan kecemasan akan hari pertamaku sendiri. Aku ingat suatu saat aku dan sahabatku ngobrol.
"Gimana reaksi ayahmu setelah tau kamu kerja...???" (tanyanya.)
"Hmm, biasa aja sih. Cuma kasih selamat...!!!" (jawabku.)
"Oh itu sih sebenernya di balik pintu ayahmu terharu...!!!" (sahutnya.)
"Hahaha... iya mungkin. Tapi ayahku nggak pernah yang heboh² gitu kok...!!!" (balasku.)
Ternyata bekerja itu bukan hanya sebuah tahapan hidup di mana kita hanya melakukan sesuatu kemudian mendapatkan uang. Setengah hariku hampir habis di kantor untuk mempelajari ini dan itu. Dalam setengah hari itu pun aku berubah menjadi sosok yang lain dari kemarin.
Aku melepas segenap zona nyamanku, berusaha beradaptasi dengan lingkungan baru, mengerjakan ini dan itu. Gila, aku capek sekali. Kemarin aku masih bisa tidur siang dan nonton TV. Masih bisa menghabiskan waktu untuk bermain².
Aku pun teringat ayahku yang sudah tua. Ini baru sehari dan aku sudah merasakan sebegitu luar biasanya bekerja. Sedangkan ayahku...??? Ia sudah menempuh puluhan tahun untuk bekerja. Ia menghadapi semua untuk menghidupi kami semua. Saat melakukan sholat Ashar, aku hampir menitikkan air mata memikirkan ini. Apa saja yang sudah kulakukan untuk ayahku...??? Apa saja yang sudah ayahku lakukan ketika aku dengan malasnya enak²an tidur siang dan nongkrong membuang banyak uang...???
Aku pulang malam hari itu. Sahabatku mengantarkanku pulang. Di tengah perjalanan kami kembali ngomong².
"Gimana hari pertama...???" (tanya sahabatku.)
"Hahahaha... Babak belur aku dihajar tugas dan waktu...!!!" (jawabku)
"Oh nggak apa², nanti juga kamu terbiasa. Ayahmu pasti terharu waktu kamu ngasih gaji pertama...!!!" (supor sahabat aku dengan nada optimis.)
Sejenak aku setuju akan pemikirannya. Namun tak lama kemudian aku membatin, "Nggak. Gaji pertamaku nggak ada apa²nya kok. Itu nggak akan cukup membayar apa yang sudah dilakukan ayahku. Bahkan, aku bekerja ini masih satu per sejuta langkah hidup ayahku...!!!"
*****
Ayah... Walaupun mungkin ia tidak terharu di balik pintu, namun di balik matanya sudah menggerombol keharuan yang nyaris tak terbendung.
Walaupun aku sudah besar, ia akan tetap khawatir ketika putrinya akan berangkat kerja di hari pertama.
Walaupun aku akan menyodorkan gaji pertamaku, itu tidak akan sebanding dengan apa yang telah ia berikan, bahkan aku masih diberi kesempatan Allah SWT untuk menerima lebih banyak lagi.
Ayah, aku baru benar² menyadari bahwa kau benar² luar biasa
Orang tua kandungku tinggal ayahku seorang. Ibu kandungku meninggal saat aku SMA. Sejak itu ayah berusaha keras menjadi dua orang sekaligus untuk aku dan kakakku.
Ia tahu aku dan kakakku belum bisa hidup mandiri. Ia melakoni banyak pekerjaan untuk membuat keadaan kami tidak jauh berbeda dari sebelum kami kehilangan ibu.
Ini terjadi di hari pertamaku bekerja. Awalnya aku masih berpikir bahwa bekerja adalah tahapan hidup yang harus dilalui, sesederhana itu. Aku akan bekerja, mendapatkan gaji dan memberikan sebagian gajiku untuk orang tua yang selama ini membiayaiku.
Ternyata aku hanya menggunakan otak dan sibuk dengan kecemasan akan hari pertamaku sendiri. Aku ingat suatu saat aku dan sahabatku ngobrol.
"Gimana reaksi ayahmu setelah tau kamu kerja...???" (tanyanya.)
"Hmm, biasa aja sih. Cuma kasih selamat...!!!" (jawabku.)
"Oh itu sih sebenernya di balik pintu ayahmu terharu...!!!" (sahutnya.)
"Hahaha... iya mungkin. Tapi ayahku nggak pernah yang heboh² gitu kok...!!!" (balasku.)
Ternyata bekerja itu bukan hanya sebuah tahapan hidup di mana kita hanya melakukan sesuatu kemudian mendapatkan uang. Setengah hariku hampir habis di kantor untuk mempelajari ini dan itu. Dalam setengah hari itu pun aku berubah menjadi sosok yang lain dari kemarin.
Aku melepas segenap zona nyamanku, berusaha beradaptasi dengan lingkungan baru, mengerjakan ini dan itu. Gila, aku capek sekali. Kemarin aku masih bisa tidur siang dan nonton TV. Masih bisa menghabiskan waktu untuk bermain².
Aku pun teringat ayahku yang sudah tua. Ini baru sehari dan aku sudah merasakan sebegitu luar biasanya bekerja. Sedangkan ayahku...??? Ia sudah menempuh puluhan tahun untuk bekerja. Ia menghadapi semua untuk menghidupi kami semua. Saat melakukan sholat Ashar, aku hampir menitikkan air mata memikirkan ini. Apa saja yang sudah kulakukan untuk ayahku...??? Apa saja yang sudah ayahku lakukan ketika aku dengan malasnya enak²an tidur siang dan nongkrong membuang banyak uang...???
Aku pulang malam hari itu. Sahabatku mengantarkanku pulang. Di tengah perjalanan kami kembali ngomong².
"Gimana hari pertama...???" (tanya sahabatku.)
"Hahahaha... Babak belur aku dihajar tugas dan waktu...!!!" (jawabku)
"Oh nggak apa², nanti juga kamu terbiasa. Ayahmu pasti terharu waktu kamu ngasih gaji pertama...!!!" (supor sahabat aku dengan nada optimis.)
Sejenak aku setuju akan pemikirannya. Namun tak lama kemudian aku membatin, "Nggak. Gaji pertamaku nggak ada apa²nya kok. Itu nggak akan cukup membayar apa yang sudah dilakukan ayahku. Bahkan, aku bekerja ini masih satu per sejuta langkah hidup ayahku...!!!"
*****
Ayah... Walaupun mungkin ia tidak terharu di balik pintu, namun di balik matanya sudah menggerombol keharuan yang nyaris tak terbendung.
Walaupun aku sudah besar, ia akan tetap khawatir ketika putrinya akan berangkat kerja di hari pertama.
Walaupun aku akan menyodorkan gaji pertamaku, itu tidak akan sebanding dengan apa yang telah ia berikan, bahkan aku masih diberi kesempatan Allah SWT untuk menerima lebih banyak lagi.
Ayah, aku baru benar² menyadari bahwa kau benar² luar biasa
KISAH INSPIRATIF 34
Sebenarnya kisah mengharukan ini sudah banyak yang
membagikannya sampai 1000 lebih oleh salah satu akun di Facebook. Entah
darimana kisah ini di dapat yang pasti kisah ini telah banyak memberikan
inspirasi bagi yang jutaan orang. Saya pun tak pernah bosan untuk me-repost
kembali.
*Saya menyarankan kalo ingin membacanya siapkan tissu terlebih dulu krn ini kisah yang sangaat sedih
Berikut kisah atau cerita sedih yang dapat memotivasi Anda dalam menjalani kehidupan berumah tangga, Kisah mengharukan atau kisah sedih ini tentang perjalanan cinta seorang istri yang tak pernah mencintai suaminya selama 10 tahun perjalanan pernikahannya hingga sang Suami meninggal dunia, dan akhirnya ia menyadari betapa besar cinta dan kasih sayang yang diberikan sang suami untuknya selama ini, dulu ia menghabiskan sepuluh tahun untuk membenci suaminya, tetapi setelah Suaminya tiada Ia menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupnya untuk mencintai sang Suami.
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
*Saya menyarankan kalo ingin membacanya siapkan tissu terlebih dulu krn ini kisah yang sangaat sedih
Berikut kisah atau cerita sedih yang dapat memotivasi Anda dalam menjalani kehidupan berumah tangga, Kisah mengharukan atau kisah sedih ini tentang perjalanan cinta seorang istri yang tak pernah mencintai suaminya selama 10 tahun perjalanan pernikahannya hingga sang Suami meninggal dunia, dan akhirnya ia menyadari betapa besar cinta dan kasih sayang yang diberikan sang suami untuknya selama ini, dulu ia menghabiskan sepuluh tahun untuk membenci suaminya, tetapi setelah Suaminya tiada Ia menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupnya untuk mencintai sang Suami.
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
KISAH INSPIRATIF 33
Pasangan muda yang baru menikah menempati rumah di
sebuah komplek perumahan.
Suatu pagi, sewaktu sarapan, si istri melalui jendela kaca. Ia melihat tetangganya sedang menjemur kain.
"Cuciannya kelihatan kurang bersih ya", kata sang istri.
"Sepertinya dia tidak tahu cara mencuci pakaian dengan benar.
Mungkin dia perlu sabun cuci yang lebih bagus."
Suaminya menoleh, tetapi hanya diam dan tidak memberi komentar apapun.
Sejak hari itu setiap tetangganya menjemur pakaian, selalu saja sang istri memberikan komentar yang sama tentang kurang bersihnya si tetangga mencuci pakaiannya.
Seminggu berlalu, sang istri heran melihat pakaian-pakaianyang dijemur tetangganya terlihat cemerlang dan bersih, dan dia berseru kepada suaminya:
"Lihat, sepertinya dia telah belajar bagaimana mencuci dengan benar. Siapa ya kira-kira yang sudah mengajarinya? "
Sang suami berkata, "Saya bangun pagi-pagi sekali hari ini dan membersihkan jendela kaca kita."
Dan begitulah kehidupan.
Apa yang kita lihat pada saat menilai orang lain tergantung kepada kejernihan pikiran (jendela) lewat mana kita memandangnya..
Jika HATI kita bersih, maka bersih pula PIKIRAN kita.
Jika PIKIRAN kita bersih, maka bersih pula PERKATAAN kita.
Jika PERKATAAN kita bersih (baik), maka bersih (baik) pula PERBUATAN kita.
Hati, pikiran, perkataan dan perbuatan kita mencerminkan hidup kita.
Jika ingin hidup kita berkembang, maju, dan sukses (bersih/baik) Maka kita hrs menjaga hati, pkiran, perkataan dan Perbuatan kita tetap baik. Karena itulah segalanya.
HATI menentukan PIKIRAN..
PIKIRAN menentukan PERKATAAN & PERBUATAN.
Suatu pagi, sewaktu sarapan, si istri melalui jendela kaca. Ia melihat tetangganya sedang menjemur kain.
"Cuciannya kelihatan kurang bersih ya", kata sang istri.
"Sepertinya dia tidak tahu cara mencuci pakaian dengan benar.
Mungkin dia perlu sabun cuci yang lebih bagus."
Suaminya menoleh, tetapi hanya diam dan tidak memberi komentar apapun.
Sejak hari itu setiap tetangganya menjemur pakaian, selalu saja sang istri memberikan komentar yang sama tentang kurang bersihnya si tetangga mencuci pakaiannya.
Seminggu berlalu, sang istri heran melihat pakaian-pakaianyang dijemur tetangganya terlihat cemerlang dan bersih, dan dia berseru kepada suaminya:
"Lihat, sepertinya dia telah belajar bagaimana mencuci dengan benar. Siapa ya kira-kira yang sudah mengajarinya? "
Sang suami berkata, "Saya bangun pagi-pagi sekali hari ini dan membersihkan jendela kaca kita."
Dan begitulah kehidupan.
Apa yang kita lihat pada saat menilai orang lain tergantung kepada kejernihan pikiran (jendela) lewat mana kita memandangnya..
Jika HATI kita bersih, maka bersih pula PIKIRAN kita.
Jika PIKIRAN kita bersih, maka bersih pula PERKATAAN kita.
Jika PERKATAAN kita bersih (baik), maka bersih (baik) pula PERBUATAN kita.
Hati, pikiran, perkataan dan perbuatan kita mencerminkan hidup kita.
Jika ingin hidup kita berkembang, maju, dan sukses (bersih/baik) Maka kita hrs menjaga hati, pkiran, perkataan dan Perbuatan kita tetap baik. Karena itulah segalanya.
HATI menentukan PIKIRAN..
PIKIRAN menentukan PERKATAAN & PERBUATAN.
Langganan:
Postingan (Atom)