POSMODERNISME DAN KEBANGKITAN AGAMA
Pada era modern, agama
dipandang sebagai kerangkeng yang membelenggu kebebasan manusia, ditambah lagi
dengan anggapan bahwa argumentasi agama didominasi oleh argumentasi yang tidak
bersandar pada reason. Kebangkitan rasio yang mewarnai zaman modern merupakan
bentuk perlawanan atas otoritas gereja yang begitu kuat pada zaman pertengahan.
Kebangkitan rasio dalam zaman
modern – bisa dikatakan – berawal dari Descartes (1596-1650) dengan diktumnya
"cogito ergo sum" (aku berpikir maka aku ada). Gagasan Descartes adalah membangkitkan kesadaran manusia
dari belenggu di luar dirinya. Manusia adalah dirinya sendiri, yang dengan
kesadarannya mampu menemukan kebenaran-kebenaran yang tidak lagi bersifat
intuitif, ilusif, dan imajinatif.
Gagasan
kesadaran Descartes menjadi warna yang sangat kuat dalam perkembangan
modernitas. Sebagai suatu bentuk kesadaran, modernitas dicirikan oleh tiga hal,
yaitu subjektivitas, kritik, dan kemajuan. Melalui subjektivitas, manusia
menyadari dirinya sebagai subjectum, yaitu sebagai pusat realitas yang menjadi
ukuran segala sesuatu. Dari sini,
teosentrisme yang dianut oleh zaman pertengahan digantikan oleh
antroposentrisme. Kesadaran subjectum menemukan bentuknya yang paling ekstrem
dalam eksistensialisme yang menilai manusia berdasarkan apa yang bisa dia
lakukan untuk dirinya sendiri.
Prinsip
yang kedua adalah kritik sebagai bentuk perlawanan atas dominasi suatu otoritas
tertentu. Dengan kritik, rasio tidak hanya menjadi sumber pengetahuan,
melainkan juga menjadi kemampuan praktis untuk membebaskan individu dari
wewenang (belenggu) tradisi. Kant merumuskan kritik sebagai keberanian untuk
berpikir sendiri di luar tatanan tradisi atau otoritas. Kant memandang bahwa
reason menjadi alasan utama manusia dapat menemukan dan membangun
prinsip-prinsip pengetahuan dan melakukannya tanpa adanya belenggu dan
keterkungkungan dari sesuatu yang absolut.
Subjektivitas
dan kritik pada gilirannya mengarahkan pada kemajuan (progress) yang ditandai
dengan perkembangan sains dan teknologi sebagai suatu hasil dari eksplorasi
total manusia akan kemampuan akal budinya, dan ini juga menjadi simbol
keterbebasan manusia dari ikatan-ikatan tradisional. Modernitas kemudian bisa
dipandang sebagai bentuk pemberontakan intelektualitas secara terus-menerus
atas segala bentuk tradisionalitas abad pertengahan. Agama, metafisika dan
ontologi yang sebelumnya menjadi sumber pengetahuan dan sekaligus sebagai
sandaran kebenaran digantikan dengan "kesadaran akan diri",
rasionalitas, dan sains. Agama semakin terpinggirkan, bahkan pada akhirnya
dianggap layaknya setumpuk ajaran yang membius kesadaran dan melahirkan
penyakit bagi rasionalitas dan manusia modern. Agama hanya menawarkan kesadaran
palsu. Freud menganggap agama sebagai bentuk penyakit neurosis, Marx menvonis
agama sebagai racun, dan akhirnya Tuhan agama dibunuh oleh Nietzcshe.
Semenjak
itu, agama divonis tidak lagi relevan dalam memahami realitas dunia saat ini
(modern = newness = kekinian). Kemajuan sains dan teknologi yang telah
memberikan kemudahan yang luar biasa bagi kehidupan manusia ikut andil
membangun semangat otonomi dan independensi manusia. Kebebasan manusia dari
Tuhan diterjemahkan dalam berbagai bentuk, mulai dari yang paling sederhana
dengan meninggalkan ajaran agama sampai yang paling ekstrem membunuh Tuhan.
Manusia
modern, bagi Nietzsche, adalah manusia yang sanggup untuk berkata
"iya" (yes sayer) dalam menghadapi kehidupannya dan melepaskan diri
dari kelemahan-kelemahan yang ditutupi oleh selubung transendensi. Menurut
Nietzche, agama mengajarkan manusia hanya untuk menjadi budak-budak (hamba
sahaya), dan karenanya manusia tidak memiliki dirinya. Untuk itu, agama harus
dimusnahkan, demikian juga dengan Tuhan.
Kegagalan
Modernitas dan Kebangkitan Agama dalam Posmodernisme
Tidak dapat
disangkal bahwa modernitas telah memberikan sekian banyak kemudahan bagi hidup
manusia. Sayangnya, secara bersamaan, manusia juga secara pelan-pelan merasakan
alienasi dari dirinya sendiri lebih-lebih dari orang lain. Manusia memang
menemukan independensinya tetapi kehilangan interdependensinya. Modernitas
hanya memberikan kemajuan dari sisi material sementara dari sisi spiritual,
manusia semakin mengalami kekeringan. Proyek kesadaran diri yang melahirkan
otonomi kebebasan manusia menjadikan manusia sebagai individu-individu, yang
berpikir tentang dan akan dirinya sendiri. Modernisasi telah menghadirkan wajah
kemanusiaan yang buram. Setelah terpola dalam kehidupan yang mekanistik, muncul
kegelisahan dan kegersangan psikologis yang disebabkan oleh tercerabutnya
kehidupan spiritual. Akibat yang paling parah adalah terjadinya krisis tentang
makna dan tujuan hidup.
Kondisi
ini menghadirkan sebuah kesadaran baru, bahwa pandangan dunia yang
materialistik dan kapitalistik ternyata tidak cukup untuk membebaskan manusia
dari teror dan ketakutannya. Secara positif muncul pandangan dunia posmodern
yang secara bersamaan juga melahirkan kesadaran spiritual posmodern. Tentu
saja, spiritualitas posmodernisme tidak mengulangi pandangan zaman pertengahan
dan modern yang menarik garis demarkasi tegas antara iman dan ilmu. Teologi
posmodern mengungkapkan visi religius terhadap dunia, tanpa mengambil sikap
anti ilmu dan anti rasional seperti dalam teologi konservatif, atau sebaliknya.
Lahir
perhatian kembali terhadap metafisika, terhadap religiusitas dan agama.
Derrida, misalnya, menggunakan istilah logosentris sebagai ganti metafisika.
Ada semacam asumsi bahwa terdapat esensi atau kebenaran yang berperan sebagai
dasar semua keyakinan; oleh karena itu, pasti ada disposisi, kerinduan pada
"penanda transendental" yang langsung menghubungkan dengan
"penanda transenden" yang stabil, kokoh, yaitu logos. Metafisika
didefinisikan berdasarkan oposisi biner, dan menurutnya, selalu dapat
didekonstruksi. Dengan pandangan tersebut, Derrida tidak lagi menganggap
metafisika sebagai suatu kemestian atau kemutlakan yang tak tersentuh, tetapi
metafisika sebagai sesuatu yang bersifat nature. Metafisika adalah konsep yang
merujuk pada kehadiran masa kini dan karena itu oposisi biner menunjukkan bahwa
satu pengertian tergantung pada dan ada dalam pengertian yang lain.
Posmodernisme
secara sadar mendukung faham relativisme dan pluralisme. Yaitu, pandangan bahwa
kebenaran itu relatif dan beragam. Meminjam istilah Wittgenstein, setiap
kelompok (habitus: dalam istilah Bordieu) memiliki Language games-nya
masing-masing; tidak terkecuali agama dan faham tentang Tuhan. Maka, teologi
posmodernisme meniscayakan penerimaan dan pengakuan atas keragaman dan
pluralisme agama. Dalam perkembangan yang paling dahsyat, mengarah pada
inklusivisme agama; dimana setiap agama tidak lagi bisa menganggap klaim
kebenarannya sebagai satu-satunya jalan kebenaran, sebab di luar dirinya ada
kebenaran yang lain (the others) yang juga harus diakuinya.
Dan
teologi, selain merupakan wilayah diskursus, yang tak kalah penting adalah
wilayah praksis. Teologi menjadi kehilangan maknanya manakala ia melulu berada
dalam diskursus intelektual-spiritual dan kehilangan jejaknya dalam praktek.
Dan ketika teologi berbicara tentang hal yang praksis, maka ia lebih tepat
disebut sebagai spiritualitas, yang mengandung arti pemaknaan atas nilai-nilai
teologis yang diakui dan diyakini.
Penutup
Posmodernisme
sunguh telah menghadirkan geliat yang sangat mengharu-birukan bagi kebangkitan
agama. Agama tidak lagi dipandang sebagai anak tiri peradaban, yang selama masa
modern diasingkan dari wilayah peradaban. Namun harus juga disadari bahwa,
kebangkitan agama dalam semangat posmodernisme yang mengusungnya bukan tanpa
kekhawatiran. Bagaimanapun juga, konsep dasar agama adalah terpusat pada konsep
"ketuhanan" yang menitikberatkan pada suatu kemapanan dan
kesempurnaan, sedangkan posmodernisme menggugat semuanya. Belum lagi, pemahaman
keagamaan yang sudah terlanjur diyakini oleh masyarakat sangat bercorak deterministik,
yang jika tidak berhati-hati akan berbenturan dengan konsep kebebasan yang
tetap dipertahankan oleh posmodern sebagai warisan dari modernisme.
Tidak
sedikit pula kekhawatiran atas konsep relativisme yang dianut oleh posmodern
akan menyeret agama pada kerapuhan. Siapa yang menduga bahwa feminisme Islam
akhirnya menuai pertentangan yang cukup besar ketika melahirkan kebebasan
"perempuan sebagai imam", atau siapa yang tidak tersentak ketika satu
kelompok membenarkan shalat dengan bahasa "lokal" (kata
"lokal" adalah issu sentral yang menguat dalam wacana posmodern).
Bibliography
Damanhuri
Fattah (ed.), 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Jakarta, Panta Rhei
David
Ray Griffin, Tuhan & agama dalam Dunia Posmodern, terj. Gunawan Admiranto,
Yogyakarta, Kanisius, 2005
Donny
GA, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Teraju, 2002
Eko
Wijayanto, Menggagas Teologi Posmodern, dimuat dalam Kompas, 6 Maret 2005
Memaknai Perbedaan dalam Tuntunan Ajaran Agama
Perbedaan
pendapat dalam segala aspek kehidupan manusia merupakan satu fenomena yang akan
terus terjadi sepanjang sejarah kemanusiaan. Perbedaan tersebut dapat meliputi
seluruh aspek kehidupan termasuk agama dan keyakinan. Al-Qur'an mengakui
keniscayaan perbedaan itu, antara lain dengan firman Allah swt:
"Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikannya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepada kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu." (QS. Al-Mâidah/5: 48)
Tetapi dalam saat yang sama, Tuhan menegaskan bahwa:
"Manusia adalah
umat yang satu. Lalu Allah mengutus para nabi sebagai pembawa kabar gembira dan
pemberi peringatan, dan menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk
memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan." (QS. Al-Baqarah/2: 213)
Dengan demikian, perbedaan adalah
keniscayaan, sedang persatuan adalah keharusan yang harus diwujudkan. Di sini,
kita harus membedakan antara perbedaan
dan perselisihan.
Yang pertama harus ditoleransi, apalagi ia dapat menjadi sumber kekayaan
intelektual serta jalan keluar bagi kesulitan yang dihadapi. Perbedaan dapat
menjadi rahmat selama dialog dan syarat-syaratnya terpenuhi. Tetapi, perbedaan
bisa menjadi bencana jika ia mengarah menjadi perselihihan, sambil
masing-masing menganggap diri atau kelompoknya memonopoli kebenaran sedang
selain diri atau kelompoknya memonopoli kesalahan.
Perbedaan di kalangan umat Islam bukan hal
yang baru, bahkan sudah terjadi sejak masa Rasul saw meskipun tidak meruncing.
Itu karena para sahabat dapat menerima keputusan Rasul saw dengan penuh
kesadaran. Rasul saw mengakui adanya perbedaan penafsiran umat menyangkut
tuntunan agama, dan dalam sekian kasus beliau membenarkan dan merestuinya, dan
pada kasus yang lain beliau mengecamnya. Sangat populer riwayat yang bersumber
dari Shahih Bukhari dan Muslim yang menginformasikan bahwa suatu ketika Nabi
saw mengutus sejumlah sahabat ke perkampungan Yahudi, Bani Quraizhah, sambil
berpesan:
"janganlah
salah seorang di antara kamu shalat Ashar kecuali diperkampungan Bani
Quraizhah".
Tetapi, ketika matahari hampir terbenam,
sedang mereka belum juga tiba di tempat tujuan, sebagian sahabat melaksanakan
shalat Ashar dengan alasan bahwa sabda Nabi saw itu bertujuan memeritahkan
bergegas dalam perjalanan agar tiba di tempat tujuan sebelum maghrib, bukan
memerintahkan shalat Ashar di sana, sehingga bila waktu Ashar telah hampir usai
sedang tempat yang dituju belum dicapai, maka shalat Ashar harus dilaksanakan
di mana pun. Kelompok sahabat lainnya memahami sabda Nabi saw itu dengan
pemahaman tekstual, sehingga mereka baru benar-benar melaksanakan shalat Ashar
setelah tiba di tempat kendati ketika itu matahari telah terbenam. Setelah
mereka kembali, peristiwa itu dilaporkan kepada Nabi saw dan ternyata Beliau
tidak mempersalahkan kedua kelompok yang berbeda itu. Keduanya dapat dinilai
benar karena memiliki arah dan tujuan yang sama, yakni melaksanakan apa yang
ditetapkan oleh Rasul saw sesuai pemahaman masing-masing.
Perbedaan pendapat antara kaum muslim yang
pada akhirnya melahirkan kelompok-kelompok seperti Asy'ariyah, Maturidiyah,
Mu'tazilah dan sebagainya, mulai terjadi pada abad kedua Hijrah. Tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa redaksi ayat-ayat al-Qur'an merupakan salah
satu penyebab timbulnya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, apalagi ada
ayat-ayat mutasyabih,
yang bukan hanya artinya diperselisihkan tetapi juga penetapan ayat-ayatnya.Tidak juga keliru jika dikatakan bahwa Rasulullah saw
sering memberikan toleransi atas perbedaan tersebut, bahkan toleransi atas
perbedaan pemahaman sahabat menyangkut ucapan-ucapan beliau.
Meskipun terdapat banyak perbedaan pendapat
menyangkut pemahaman atas sejumlah ayat-ayat al-Qur'an, namun kalangan ulama,
bahkan para orientalis yang objektif, bersepakat menyangkut otentisitas
al-Qur'an. Ini adalah dua hal yang berbeda antara otentisitas al-Qur'an sebagai
wahyu Ilahi dan pemahaman atas ayat-ayat al-Qur'an yang merupakan hasil
penafsiran ulama atau pembacanya.
Berbicara tentang otentisitas al-Qur'an,
perlu dicatat issu yang pernah terdengar bahwa mushaf kaum Syiah berbeda dengan
Mushaf kaum Sunni. Dalam konteks ini, Abdullah Darraz, salah seorang ulama
besar kaum Sunni, menulis dalam bukunya Madkhal
ilâ al-Qur'âni al-Karîm bahwa kaum Syiah pun mengakui otentisitas
al-Qur'an yang beredar dewasa ini dan tidak berbeda dengan apa yang diakui oleh
Kaum Sunni. Memang, tulisnya – mengutip tokoh kenamaan Syiah, Abu Ja'far –
bahwa bilangan surah al-Qur'an menurut Syiah Imamiyah bukan 114 surah. Hal ini
karena surah adh-Dhuha (93) bersama surah Alam Nasyrah (94), surah al-Fîl (105)
bersama surah Quraisy (106), dan surah al-Anfâl bersama surah at-Taubah
masing-masing dinilai sebagai satu surah.
Bagi umat Islam, keyakinan atas keotentikan
al-Qur'an terbangun, tidak saja karena didukung oleh fakta-fakta sejarah yang
meyakinkan, tetapi juga karena adanya jaminan pemeliharaan Allah, sesuai
firman-Nya:
Artinya:
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr/15: 9)
Berbeda halnya dalam hal penafsiran atau
pemahaman atas ayat-ayat al-Qur'an. Memang, tidak ada yang dapat memastikan
maksud atau arti sebenarnya satu kata atau kalimat yang diucapkan atau ditulis
oleh seseorang, kecuali oleh pembicara itu sendiri. Pengertian yang dipahami
oleh pendengar atau pembaca bersifat relatif Ini disebabkan karena pemahaman sangat dipengaruhi oleh
sejumlah faktor. Al-Syatibi menyimpulkan bahwa tidak ada atau jarang sekali
yang bersifat pasti (qath‘i)
dalam argumentasi syar‘i, jika yang dimaksudkan sebagai pasti (qath‘i) itu adalah tidak
adanya kemungkinan arti lain dari redaksi tersebut secara berdiri sendiri.
Karena walaupun ia mutawatir,
namun pengertiannya ditentukan oleh premis-premis yang kesemuanya atau sebagian
besarnya bersifat zhanny
(dugaan), dan tentunya sesuatu yang lahir dari yang zhanny pasti bersifat zhanny pula.
Mahmud Syaltut menyebutkan salah satu
faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan ulama itu adalah
menyangkut periwayatan hadis. "Satu hadis mungkin diakui atau diterima
oleh seorang alim, tetapi tidak diketahui atau diakui keshahihannya oleh alim
yang lain. Hal ini antara lain akibat perbedaan penilaian terhadap perawi
hadis, hal yang sangat luas jangkauan pembahasannya dalam studi al-Jarh wa al-Ta‘dîl." Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha. Para sahabat, menurut Ridha, tidak menulis semua apa
yang mereka dengar dari hadis-hadis yang disampaikan oleh orang lain atau
menganjurkan untuk mengamalkannya. Itu sebabnya, menurut Ridha, mengapa Imam
Malik tidak menyetujui saran Khalifah al-Manshur dan al-Rasyid agar khalayak
dipaksa mengamalkan kandungan kitab yang ditulisnya, yaitu al-Muwaththa', yang
merupakan kumpulan hadis-hadis Nabi saw.
Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa
perbedaan pendapat antar kaum muslim hanya menyangkut masalah-masalah yang
dapat disentuh oleh pemikiran (ijtihâd),
baik yang menyangkut masalah akidah maupun syariat, atau politik, bahkan
menyangkut ushûluddîn
(prinsip-prinsip agama) sehingga tidak mengakibatkan kekufuran. Para ulama,
misalnya, tidak berbeda pendapat tentang wujud dan keesaan Allah swt, walaupun
berbeda pendapat tentang sifat-Nya, apakah berdiri pada Zat-Nya atau tidak;
juga tidak berbeda pendapat tentang kebenaran al-Qur'an, hanya memperdebatkan
apakah dia makhluk atau qadim;
seperti juga keniscayaan hari kiamat, hanya mempersoalkan apakah yang
dibangkitkan kelak tubuh kasar beserta jiwanya atau hanya jiwanya, dan
lain-lain. Perbedaan-perbedaan pendapat tersebut tidak sampai mengakibatkan
kekufuran pengikutnya.
Agaknya tidak keliru mereka yang menegaskan
bahwa ketika Islam membenarkan ijtihad bagi para ulama yang memiliki kemampuan
untuk menetapkan rincian pandangan agama dengan merujuk kepada al-Qur'an dan
Sunnah, maka ketika itu juga Islam telah mengakui kemungkinan timbulnya
perbedaan pendapat dan lahirnya kelompok-kelompok. Memang menjadi bahasan para
pakar, apakah setiap mujtahid dapat dinilai benar dalam pendapatnya, atau yang
benar hanya salah seorang di antara mereka yang berbeda pendapat itu. Imam
al-Ghazali, al-Qadhy, al-Muzany, dan kelompok Mu'tazilah mengatakan bahwa bisa
saja kebenaran itu beragam dengan beragamnya pendapat para mujtahid. Sedang
empat imam mazhab yang populer berpendapat bahwa kebenaran hanya satu, namun
yang salah pun dalam ijtihadnya mendapat ganjaran. Ini tentu saja berlaku bila yang melakukan ijtihad itu
adalah siapa yang memenuhi syarat-syaratnya serta bersungguh-sungguh dan tulus
dalam upayanya mencari kebenaran.
Ulama-ulama terdahulu telah menetapkan
beberapa syarat menyangkut seseorang yang dianggap kompeten untuk melakukan
ijtihad. Syarat-syarat tersebut tentu saja ditetapkan oleh para ulama
berdasarkan pertimbangan nalar, kondisi sosial, serta perkembangan ilmu pada
masa mereka, sehingga syarat-syarat tersebut, untuk masa kini, dapat saja
menimbulkan perbedaan pendapat.
Salah seorang ulama yang sangat kompeten
dalam hal ini adalah al-Marhum Syekh 'Abdul Halim Mahmud, pemimpin tertinggi
lembaga-lembaga al-Azhar Mesir, Menurutnya, syarat yang harus dipenuhi oleh
seseorang yang akan tampil melakukan ijtihad.adalah:
1.
Pengetahuan yang mantap tentang bahasa Arab
2.
Menguasai al-Qur'an dan memahaminya secara baik dan ini berkaitan dengan
pengetahuan tentang sabab nuzûl
3.
Pengetahuan tentang hadis-hadis Nabi saw, khususnya yang berkaitan dengan
hukum
4.
Pengetahuan tentang sunnah amaliyah baik di Mekah maupun di
Madinah
5.
Pengetahuan yang jelas tentang sirah
(sejarah hidup) Rasul saw.
Ulama lain menggarisbawahi perlunya pengetahuan tentang nasikh dan mansûkh, meskipun oleh
sejumlah ulama kontemporer berpendapat hal ini bisa saja diabaikan dan cukup
dengan pengetahuan tentang sabab
nuzûl. Syarat lain yang dapat dikemukakan dan penulis anggap sangat
penting yang harus dipenuhi oleh seseorang yang bermaksud menarik petunjuk
hukum Islam menyangkut satu masalah yakni pengetahuan yang memadai tentang
masalah yang dibahas. Jika masalah yang dibahas berkaitan masalah ekonomi, maka
diperlukan pengetahuan ekonomi. Jika
berkaitan dengan biologi atau kloning manusia, maka ini pun harus dipahami.
Sebab, jika tidak, akan lahir pandangan hukum yang tidak sejalan dengan jiwa
dan tujuan ajaran Islam.
Salah satu persoalan yang dihadapi dewasa
ini adalah adanya sebagian orang mengemukakan aneka pendapat keagamaan tanpa
mememuhi syarat minimal. Memang, harus diakui bahwa sangat sulit menghalangi
seseorang merenungkan, memahami, serta mengemukakan pendapat tentang ajaran
agama. Namun, kita semua seharusnya sadar bahwa setiap disiplin ilmu memiliki
syarat-syaratnya sehingga tidak semua orang bebas mengemukakan pendapat tentang
satu masalah tanpa memiliki otoritas tentang bidang yang dibicarakannya.
Al-Qur'an bahkan melarang mengemukakan sikap dan pendapat menyangkut hal-hal
yang tidak berada dalam batas pengetahuan mereka (QS. Al-Isrâ'/17: 36).
Kendati terdapat sejumlah perbedaan, namun
kita juga dapat mengatakan bahwa perbedaan yang terjadi antara pakar-pakar
muslim yang berkompeten dalam hal-hal yang berkaitan dengan rincian tuntunan
agama, pada akhirnya dapat dipertemukan dalam satu wadah, karena semua yang
berbeda itu pada hakikatnya ingin mengikuti tuntunan agama. Namun karena
kaburnya sebagian argumentasi atau ketidaktahuan mereka tantang argumentasi,
maka lahir perbedaan. Karena itu, sepert yang ditulis Abu Ishaq asy-Syatiby,
"kalau kita berandai bahwa sang mujtahid kemudian mengetahui apa yang
tadinya kabur baginya, maka pasti dia akan mengoreksi pendapatnya".
Lebih lanjut asy-Syatiby menulis bahwa:
"Perbedaan pada hakikatnya tidak lain
kecuali pada jalan yang mengantar pada tujuan yang dikehendaki Allah dan
Rasul-Nya, yang merupakan tujuan yang satu. Hanya saja, seorang mujtahid tidak
boleh membatalkan hasil ijtihadnya tanpa keterangan (dalil). Ini adalah
kesepakatan ulama, baik kita menganut paham yang menyatakan hanya satu pendapat
yang benar (dalam satu masalah) maupun kita berkata semuanya benar, karena
tidak dibenarkan bagi seorang mujtahid mengamalkan pendapat mujtahid lainnya
walau yang lain itu benar, sebagaimana tidak dibenarkannya hal tersebut jika
pendapat mujtahid yang lain itu keliru. Dengan demikian, kebenaran yang
dinyatakan oleh mereka yang berpendapat bahwa semua mujtahid benar (dalam
pendapatnya) adalah kebenaran relatif. Dengan demikian, kedua pendapat yang
berbeda menjadi satu dari sudut pandang ini, dan dengan demikian pula, mereka
sebenarnya bertemu, tidak berbeda. Dari sini tampak sebab kedekatan, kasih
sayang, dan persahabatan antara yang berbeda pendapat itu dalam
persoalan-persoalan ijtihad, sehingga mereka tidak bergolong-golongan (yang
saling memusuhi), tidak juga berpecah belah, karen asemua telah sepakat mencari
apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya, dan dengan demikian, perbedaan
jalan tidak lagi berpengaruh. Maka,...karena arah mereka adalah menemukan
tujuan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, maka (pada hakikatnya) kalimat
mereka satu dan pendapat mereka pun sama".
Inilah yang menjadikan sementara ulama
merasa bahagia dengan perbedaan pendapat para tokoh-tokoh sahabat dan ulama
umat Islam, karena kalau hanya satu pendapat, maka umat akan mengalami
kesulitan dan kesempitan.
Jika demikian, perbedaan yang hakiki adalah
yang lahir dari hawa nafsu, atau dengan kata lain, yang lahir dari
subjektivitas yang berlebihan. Subjektivitas yang berlebihan dalam kegiatan
ilmiah atau keagamaan, maka hasilnya pasti keliru, salah, bahkan –dalam istilah
agama – dhalâl
atau kesesatan. Perbedaan yang mengakibatkan perselisihan tidak akan lahir
selama semua berupaya untuk mencapai tujuan agama yang pencapaiannya diraih
dengan menelusuri jalan yang ditetapkan agama, yaitu memerhatikan dan memahami
secara objektif dalil dan argumentasi-argumentasi keagamaan.
Hal yang patut disayangkan saat ini – dan
banyak menimbulkan perselisihan di antara umat Islam – adalah bahwa banyak
tokoh kelompok agama yang mangklaim bahwa hanya kelompoknya yang benar dan
selamat, sedang selain mereka sesat dan celaka. Perbedaan pendapat ulama masa
lalu tidak pernah menjadikan mereka saling tuding, apalagi saling mengkafirkan,
bahkan mereka semua saling menghormati dan mengakui kelebihan pihak lain.
Sayang, kondisi semacam itu berangsur-angsur beralih menjadi fanatisme buta
sejalan dengan kemunduran peranan ilmu dalam masyarakat Islam.
Syekh Muhammad Abdul Azhim az-Zarqany, Guru
Besar Universitas al-Azhar, pada tahun tujuh puluhan, menulis: "Al-Qur'an,
Sunnah, dan ajaran Islam, lebih luas daripada mazhab dan pendapat-pendapat
mereka dan bahwa mazhab dan pendapat mereka itu jauh lebih sempit daripada al-Qur'an,
sunnah, dan ajaran Islam....bahwa dalam arena ajaran Islam yang demikian luwes
dan penuh toleransi ditemukan tempat yang luas bagi kebebasan berpendapat dan
perbedaan pandangan, selama semua berpegang teguh dengan hablun minal-lâh (tali
yang terulur dari Allah, yakni al-Qur'an)".
Sebelum ini, Hujjatul Islam, Imam
al-Ghazali, menulis:
"Sesuatu yang seharusnya dijadikan
kecenderungan oleh para penuntut (ilmu/kebenaran) adalah menghindari pengafiran
(orang lain) selama dia menemukan jalan untuk itu. Karena membenarkan penumpahan
darah seorang muslim dan perampasan harta benda mereka yang shalat mengarah ke
kiblat, yang menegaskan bahwa "Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah Rasul-Nya" adalah satu kesalahan. Sedang kesalahan membiarkan
seribu kafir dalam kehidupan ini lebih ringan daripada kesalahan dalam
menumpahkan darah seorang muslim. Rasul saw telah bersabda, "Aku
diperintahkan memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Lâ ilâha illal-lâh Muhammadun Rasûlul-lâh,
maka bila mereka telah mengucapkannya maka terpeliharalah dariku darah (nyawa)
dan harta benda mereka kecuali berdasar haknya (alasan yang dibenarkan
agama)".
Ini tentu saja bukan berarti membenarkan semua pendapat atau
penafsiran yang mengatasnamakan Islam atau al-Qur'an. Para
ulama dan ilmuan mengenal kaidah-kaidah yang telah mapan dan diakui bersama
menyangkut setiap disiplin ilmu. Nah, selama pendapat tersebut tidak menyimpang
dari kaidah-kaidah yang telah disepakati itu, walaupun tidak sesuai dengan
pendapat yang dianut oleh mayoritas, maka itu dapat ditoleransi. Ada pun yang jelas
menyimpang, maka ia harus ditolak dan dibuktikan kesalahannya, agar yang
mengemukakannya menyadari kesalahannya dan yang terpengaruh dapat kembali pada
kebenaran.
Semoga semua upaya dalam rangka menghilangkan kesalahpahaman
antara umat dan menghimpun mereka di bawah panji Tauhid yang dikibarkan oleh
Nabi Muhammad saw dapat diwujudkan. Wal-lâhu
a‘lam.[]
Belajar Dari Ibrahim dan Keluarganya
Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu.
Jamaah Shalat Idul Adha Yang Dimuliakan Allah.
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan kenikmatan kepada kita dalam jumlah yang begitu banyak sehingga kita bisa hadir pada pagi ini dalam pelaksanaan shalat Idul Adha. Kehadiran kita pagi ini bersamaan dengan kehadiran sekitar tiga sampai empat juta jamaah haji dari seluruh dunia yang sedang menyelesaikan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Semua ini karena nikmat terbesar yang diberikan Allah swt kepada kita, yakni nikmat iman dan Islam.
Shalawat dan salah semoga selalu tercurah kepada Nabi kita Muhammad saw, beserta keluarga, sahabat dan para pengikuti setia serta para penerus dakwahnya hingga hari kiamat nanti.
Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu.
Kaum Muslimin Yang Berbahagia.
Hari ini kita kenang kembali manusia agung yang diutus oleh Allah swt untuk
menjadi Nabi dan Rasul, yakni Nabi Ibrahim as beserta keluarga Ismail as dan
Siti Hajar. Keagungan pribadinya membuat kita bahkan Nabi Muhammad saw harus
mampu mengambil keteladanan darinya, Allah swt berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِى اِبْرَاهِيْمَ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ
Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia (QS Al Mumtahanah [60]:4).
Pada kesempatan khutbah yang singkat ini, paling tidak ada empat
dari sekian banyak keteladan yang harus kita ambil dari kehidupan Nabi Ibrahim
as dan keluarganya. Nilai-nilai keteladanan yang amat penting bagi diri,
keluarga, masyarakat dan bangsa kita.
Pertama
adalah mempertahankan dan memperkokoh idealisme sebagai
seorang mukmin yang selalu berusaha untuk berada pada jalan hidup yang benar,
apapun keadaannya dan bagaimanapun situasi serta kondisinya. Begitulah memang
yang telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim as dan keluarganya dengan hujjah,
argumentasi atau alasan yang kuat. Dalam sejarah Nabi Ibrahim kita dapati
beliau menghancurkan berhala-berhala yang biasa disembah oleh masyarakat di
sekitarnya, saat itu Ibrahim adalah seorang anak remaja, hal ini tercermin
dalam firman Allah swt yang menceritakan soal ini:
فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآَلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata: Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim”. Mereka berkata: Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini, namanya Ibrahim (QS Al Anbiya [21]:58-60).
Untuk mempertahankan idealisme itu,
Ibrahim bahkan siap untuk terus berjuang sampai mati meskipun harus berjuang di
wilayah yang lain, ia menyebut dirinya sebagai orang yang pergi kepada Allah
swt, Tuhannya yang Esa, dalam hal ini Nabi Ibrahim menyatakan dihadapan
orang-orang kafir:
وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِينِDan Ibrahim berkata: Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku (QS Ash Shaffat [37]:99).
Oleh karena itu, idealisme yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim as tidak hanya saat ia masih muda belia, tapi bandingkanlah dengan suatu peristiwa yang amat menakjubkan, saat Ibrahim diperintah oleh Allah swt untuk menyembelih anaknya Ismail, saat itu Ibrahim sudah sangat tua, sedangkan Ismail adalah anak yang sangat didambakan sejak lama.
Maka Ibrahimpun melaksanakan perintah Allah swt yang terasa lebih berat dari sekedar menghancurkan berhala-berhala dimasa mudanya. Ini menunjukkan kepada kita bahwa Ibrahim memiliki idealisme dari muda sampai tua dan inilah yang amat dibutuhkan dalam kehidupan di negeri kita, jangan sampai ada generasi yang pada masa mudanya menentang kezaliman, tapi ketika ia berkuasa pada usia yang lebih tua justeru ia sendiri yang melakukan kezaliman yang dahulu ditentangnya itu, jangan sampai ada generasi yang semasa muda menentang korupsi, tapi saat ia berkuasa di usianya yang sudah semakin tua justeru ia sendiri yang melakukan korupsi, padahal dahulu sangat ditentangnya.
Dalam kehidupan kita sekarang, kita dapati banyak orang yang tidak mampu mempertahankan idealisme atau dengan kata lain tidak istiqomah apalagi dalam proses penegakan hukum, sehingga apa yang dahulu diucapkan tidak tercermin dalam langkah dan kebijakan hidup yang ditempuhnya, apalagi bila hal itu dilakukan karena terpengaruh oleh sikap dan prilaku orang lain yang tidak baik, karena itu Rasulullah saw mengingatkan dalam satu haditsnya:
لاَتَكُوْنُوْا
اِمَّعَةً تَقُوْلُوْنَ: اِنْ اَحْسَنَ النَّاسُ اَحْسَنَّا وَاِنْ
ظَلَمُوْاظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوْا اَنْفُسَكُمْ اِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ اَنْ
تُحْسِنُوْا وَاِنْ اَسَاءُوْا اَنْ لاَتَظْلِمُوْا.
Janganlah kamu menjadi orang yang
ikut-ikutan dengan mengatakan kalau orang lain berbuat baik, kamipun akan
berbuat baik dan kalau mereka berbuat zalim, kamipun akan berbuat zalim. Tetapi
teguhkanlah dirimu dengan berprinsip, kalau orang lain berbuat kebaikan kami
berbuat kebaikan pula dan kalau orang lain berbuat kejahatan kami tidak akan
melakukannya (HR. Tirmidzi). Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu.
Kaum Muslimin Yang Berbahagia.
Kedua nilai keteladanan dari Nabi Ibrahim as yang harus kita ambil adalah memiliki ketajaman hati sehingga hati yang tajam bagaikan pisau yang tajam sehingga mudah membelah sesuatu. Hati yang tajam membuat kita mudah membedakan mana yang haq dan mana yang bathil, tidak akan samar diantara keduanya. Bahkan hati yang tajam membuat manusia cepat nyambung dengan maksud dari bahasa isyarat.
Begitulah Nabi Ibrahim yang begitu mudah menangkap perintah Allah swt yang benar meskipun hanya melalui isyarat mimpi, begitu juga Ismail yang langsung percaya bahwa perintah Allah swt telah disampaikan kepada ayahnya melalui mimpi yang diceritakan kepadanya. Allah swt berfirman
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai
anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar".(QS Ash Shaffat [37]:102).
Perintah dan larangan tidak selalu harus disampaikan dengan
bahasa yang vulgar, karenanya ketajaman hati menjadi sesuatu yang amat penting,
apalagi pada zaman sekarang, banyak bahasa isyarat dan simbol yang mengandung
perintah dan larangan. Namun hati yang tumbul membuat banyak diantara kita yang
sudah tidak peduli dengan bahasa-bahasa simbol. Ini sangat jelas dalam tertib
lalu lintas yang sudah tidak dipedulikan lagi, padahal dalam rangkaian ibadah,
apalagi dalam ibadah haji begitu banyak bahasa simbol yang harus
diwujudkan dalam kehidupan nyata. Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu.
Kaum Muslimin Yang Berbahagia.
Ketiga, pelajaran yang kita dapat dari Nabi Ibrahim as sebagaimana yang terkandung pada ayat di atas adalah mengembangkan suasana yang dialogis antara orang tua dengan anak.
Meskipun Nabi Ibrahim yakin bahwa mimpinya itu adalah perintah Allah swt yang harus dilaksanakan, ia tidak begitu saja melaksanakan proses penyembelihan, tapi mengajak berdialog dulu kepada anaknya Ismail yang harus terlibat langsung dalam pelaksanaan perintah ini. Suasana yang dialogis inilah yang seringkali hilang dari keluarga kita.
Banyak orang tua yang memperlakukan anaknya seperti radio atau televisi yang rusak sehingga bila anaknya belum melaksanakan sesuatu yang seharusnya dilaksanakan dipukul-pukul seperti radio dan televisi yang rusak, memang kadangkala radio dan televisi itu bisa hidup, tapi sebenarnya hal itu bisa membuat radio dan televisi bertambah rusak. Nabi Ibrahim as telah mencontohkan dan membuktikan kepada kita bahwa dengan dialog tingkat kesadaran dan tanggungjawab sang anak tumbuh dengan kuat dari dalam dirinya, bahkan ia memiliki alasan atau argumentasi yang kuat sehingga bisa dipertahankan selalu.
Oleh karena itu, rumah jangan sampai menjadi seperti terminal, stasiun dan bandara, apalagi sekadar halte dimana anggota keluarga hanya sekadar singgah ketika berada di rumah sehingga tidak terjadi komunikasi yang baik antara anggota keluarga, apalagi dari orang tua kepada anak-anaknya yang sering merasa sibuk, karena itu, Rasulullah saw berpesan kepada kita semua:
اِلْزَمُوْا أَوْلاَدَكُمْ وَأَحْسِنُوْا أَدَبَهُمْ.
Bergaullah dengan anak-anakmu dan bimbinglah kepada akhlak
yang mulia (HR. Muslim).
Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu.Kaum Muslimin Yang Berbahagia.
Keempat, memiliki kesadaran sejarah, ini menunjukkan bahwa ketika belajar sejarah kita tidak hanya harus menghafal tentang apa, siapa, dimana dan bagaimana, tapi pelajaran (ibrah) apa yang harus kita ambil dari sejarah masa lalu.
Pada Ismail as, kesadaran sejarah itu melahirkan akhlak dan peradaban yang mulia dengan menyatakan “insya Allah, engkau dapati aku termasuk anak yang sabar”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa ia tahu bahwa generasi terdahulu juga sudah banyak yang sabar, bahkan bisa jadi jauh lebih sabar dari dirinya sehingga ia tidak mengklaim dirinya sebagai anak yang paling sabar apalagi satu-satunya anak yang sabar.
Oleh karena itu, kesadaran sejarah yang harus kita tunjukkan pada masa sekarang adalah dengan selalu melaksanakan dan menegakkan nilai-nilai kebenaran dan menjauhi nilai kebathilan, itu sebabnya, sesulit apapun keadaan yang kita alami, tidak sesulit yang dialami oleh generasi terdahulu dan ini pula yang diingatkan kepada Nabi Muhammad saw dalam mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai kebenaran, Allah swt berfirman:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْا اِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar (istiqomah)
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan juga orang yang bertaubat bersamamu dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan (QS Hud [11]:112)
Kesadaran sejarah juga membuat seseorang akan lebih siap
menghadapi segala resiko perjuangan karena memang dalam hal apapun pasti ada
resikonya, jangankan dalam kebenaran, dalam kebathilan juga ada resiko yang
harus dihadapi. Karenanya, Nabi Ibrahim as menunjukkan keberanian menanggung
resiko seperti dijatuhi hukuman mati oleh penguasa yang zalim, bahkan
eksekusinya dengan cara dibakar meskipun Allah swt memberikan perlindungan dan
pertolongan kepadanya:قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ
Kami berfirman: "Hai api
menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim", Mereka hendak
berbuat makar terhadap Ibrahim, Maka kami menjadikan mereka itu orang-orang
yang paling merugi (QS Al Anbiya [21]:69-70).
Dalam kehidupan sekarang, begitu banyak orang yang tidak
berani menghadapi resiko, akibatnya kebenaran tidak bisa tegak, apalagi dalam
konteks penegakan hukum seperti yang kita rasakan di negeri kita ini, hukum
begitu mudah dipermainkan untuk mendapatkan kepentingan dunia dan lebih tragis
lagi karena yang melakukannya justeru para penegak hukum. Inilah diantara
nilai-nilai kepribdian yang mulia pada diri Nabi Ibrahim dan keluarganya dari
sekian banyak yang harus kita teladani. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang
mampu menapaki jejak kehidupan para Nabi sehingga kehidupan kita berada pada
jalan yang lurus, selamat dunia dan akhirat.
Akhirnya,
marilah kita tutup ibadah shalat Id kita pada hari ini dengan berdo’a:
Ya Allah, tolonglah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Menangkanlah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi kemenangan. Ampunilah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi pemberi ampun. Rahmatilah kami, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rahmat. Berilah kami rizki sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pemberi rizki. Tunjukilah kami dan lindungilah kami dari kaum yang dzalim dan kafir.
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ لَنَا دِيْنَناَ الَّذِى هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا وَأَصْلِحْ لَنَا دُنْيَانَ الَّتِى فِيْهَا مَعَاشُنَا وَأَصْلِحْ لَنَا آخِرَتَنَا الَّتِى فِيْهَا مَعَادُنَا وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِى كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شرٍّ
Ya Allah, perbaikilah agama kami untuk kami, karena ia merupakan benteng bagi urusan kami. Perbaiki dunia kami untuk kami yang ia menjadi tempat hidup kami. Perbikilah akhirat kami yang menjadi tempat kembali kami. Jadikanlah kehidupan ini sebagai tambahan bagi kami dalam setiap kebaikan dan jadikan kematian kami sebagai kebebasan bagi kami dari segala kejahatan.
اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا
Ya
Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami
dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang
mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan
menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini. Ya Allah, anugerahkan
kepada kami kenikmatan melalui pendengaran, penglihatan dan kekuatan selamakami
masih hidup dan jadikanlah ia warisan bagi kami. Dan jangan Engkau jadikan
musibah atas kami dalam urusan agama kami dan janganlah Engkau jadikan dunia
ini cita-cita kami terbesar dan puncak dari ilmu kami dan jangan jadikan berkuasa
atas kami orang-orang yang tidak mengasihi kami.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ.Ya Allah, ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Dekat dan Mengabulkan do’a.
رَبَّنَا اَتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى الأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kehidupan yang baik di dunia, kehidupan yang baik di akhirat dan hindarkanlah kami dari azab neraka.